Jumat, 31 Juli 2009

Menjelajah Pantai Selatan, menyusuri Green Canyon

Sabtu 23 Mei 2009
Perjalanan kali ini dipilih lokasi pesisir selatan. Delapan orang (Adek, Jeki, Gimbal, Engkong, Supari, Bram, Ocha dan saya) dengan style backpacker menyewa sebuah mobil panter untuk mengantarkan kami selama 2 hari kedepan dengan biaya Rp.250.000/hari. Jam 00.30 kami bergerak dari secretariat Astacala, Bandung menuju pantai Pangandaran. Pukul 05.30 kami tiba di pangandaran, beristirahat sejenak dan sarapan bubur ayam di depan mesjid Al-Istiqomah. Setengah jam kemudian kami bergerak memasuki kawasan pantai pangandaran, dengan membayar uang masuk mobil sebesar Rp 27.000.
Pantai Barat Pangandaran
Inilah kali pertama saya melihat pantai pangandaran secara langsung. Menurut kabar, pantai ini tidak begitu bagus karena agak kotor dan ternyata kabar tersebut memang benar. Meskipun pantai sangat ramai dengan berbagai losmen, hotel maupun cottage, para pedagang dan para pengunjung berbaur ramai ditepi pantai membuat pantai tampak sangat penuh. Anak anak berlarian, muda mudi yang bercengkrama, para nelayan dan perahu yang terlihat ditepi pantai juga para penjual yang menjajakan berbagai macam makanan maupun mainan dan aksesoris, sungguh pagi yang sangat ramai.


Pantai Timur Pangandaran
Bosan berjalan jalan di pantai barat, kami memutuskan beranjak menuju pantai timur. Di pantai timur sudah dibangun pemecah ombk disepanjang pantai, jadi kita tidak bisa lagi melihat hamparan pasir pantai disana. Yang ada adalah batu batu karas berwarna hitam yang disusun sebagai pemecah pantai. Disekitaran pantai terlihat pelelangan ikan dan beberapa restoran makanan laut. Jeki langsung mengambil posisi untuk mengambil gambar desekitar pantai dengan camera Nikon D60, adek dan aku juga berhunting ria dengan camdig pocket.


Tak terasa matahari sangat terik menyengat kulit, mata terasa sedikit berat dikarenakan kami belum sempat tidur sejak perjalanan dari bandung. Puas hunting, dan seakan diusir dari pantai oleh sengatan sinar matahari pagi yang entah kenapa terasa sangat menyiksa kami pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Pukul 07.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Batu Hiu.
Batu Hiu
Sekitar 30 menit perjalanan kami pun sampai di kawasan pantai Batu hiu. Kami hanya dikenakan karcis masuk untuk mobil sebesar Rp 27.000,-. Tidak ada biaya masuk perorang sama seperti di pantai Pangandaran. Konon katanya, nama batu hiu diambil karena terdapat sebuah batu besar yang mirip sirip ikan hiu.


Di kawasan batu hiu, kita dapat menikmati pantai dari dua spot area yang berbeda. Yang pertama bisa menikmati pantai sama seperti pantai pada umumnya, yaitu lepas pantai dengan pasir hitam. Atau apabila ingin mendapatkan view yang berbeda, kita bisa naik kearah bukit dan akan menemukan spot yang sangat indah untuk menikmati pantai dari atas tebing.


Tempat yang asik untuk beristirahat. Ditemani oleh hamparan pohon yang rindang, dan hijaunya rumput membuat hati tak kuasa untuk merebahkan badan.


Saya yakin, siapapun yang melihat spot ini, pasti akan langsung mencari tempat untuk bersantai dan menikmati indahnya biru air laut dan deru ombak. Don’t believe it, just try it!


Hari itu Adek dan Bram yang menjadi koki, kami makan bakwan kornet dan...lupa...seingatku menunya tidak begitu menarik, namun thanks to the chef yang sudah bersedia masak untuk kami siang itu. Berkat mereka perut keroncongan ini dapat diam sejenak. Kami juga sempat menikmati segarnya kelapa muda yang disana dihargai Rp 5.000,-/buah. Setelah kenyang kami pun bisa melanjutkan perjalanan ke tempat yang cukup legendaris di Jawa Barat, ”GREEN CANYON”.
Green Canyon a.k.a Cukang Taneuh


Sesuai dengan predikatnya sebagai tempat yang legendaris, kami harus merogoh kocek cukup besar untuk dapat menikmati indahnya sang Legendaris. Satu buah kapal dihargai Rp 75.000,- dan itu pun maksimal untuk 6 orang (padahal untuk kapasitas perahu bisa hingga 10 orang) Karena saat itu kami berdelapan, dan petugas tidak mau dinego agar kami cukup memakai 1 perahu, kami pun menyewa 2 perahu. Aku, Jeki, Bram dan Supari satu perahu. Adek, Gimbal, Engkong dan Ocha diperahu yang kedua. Satu perhu ditemani oleh seorang nahkoda dan asistant nya.
Hijau
Benar-benar hijau air sungai di Green Canyon, sungguh anda tidak dibohongi oleh iklan iklan atau media sponsor yang mungkin sempat anda ragukan. Disekitar kanan dan kiri sungai rimbun ditumbuhi oleh pohon dan daun daun hijau. Tak jarang kami pun melihat biawak ditepi sungai.


Perjalanan yang sebenarnya adalah saat perahu ini berhenti saat batu batu besar menghadang laju kapal dan membuat sungai menyempit. Saya melihat banyak sekali orang yang meninggalkan kapal mereka dan berjalan-jalan diatas batu yang besar itu. Inilah adventure yang sebenarnya, menjelajahi Green Canyon dengan pelampung yang sudah disiapkan dimasing-masing perahu. Tentu saja dengan ekstra cost. Untuk dua perahu kami membayar Rp 160.000,- . Ekstra cost ini sebenarnya biaya tunggu perahu plus guide.
Nyebur..
Kami harus nyebur untuk mengeksplore sungai ini. Bagaimana nasib kamera kami? Tukang perahu sudah mengatakan bahawa kami dapat membawa camera bila mau, namun aku, jeki, ocha dan adek tidak ada yang percaya. Bok ya kami full basah dan harus berenang, ditambah lagi tetesan-tetesan air dari atas yang cukup deras membuat kami memutuskan tidak membawa camera untuk ditinggal di perahu. Beberapa saat setelah nyebur, tukang perahunya bertanya
”Kok gk jadi bawa kamera?”
”Ini kan bagus kalau difoto”
”Padahal ini saya sudah siapkan plastik”


Saya cuman bengong dari bawah melihat tukang perahunya berjalan disisi tebing sungai yang saat itu memang bertekstur tebing goa. Ternyata tukang perahunya berjalan menemani kami dari sisi sungai, itulah sebabnya dia berkata kamera dapat dibawa, sebab dia yang akan memegang kamera tersebut buat kami. Oh my God!!one mistake!!. Beramai ramai kami meminta agar camera kami diambil diperahu, namun sayang perahunya sudah diparkir cukup jauh dari tempat kami. Sedih yang tak berujung karena tidak ada dokumentasi saat kami lompat dari ketinggian 7 meter layaknya lompat indah. Kurang lebih 2 jam kami bermain-main di sungai legendaris ini, sampai akhirnya kami pun pamit. Ini menjadi pengalaman indah sekaligus cukup pahit bagi kami. Untuk kunjungan kedua, dipastikan kamera akan selalu dibawa.hahaha.
Batu Karas
Kata orang sih, save the best for the last. Batu Karas adalah tujuan pantai tempat kami menginap, mendirikan tenda. Dari tarif masuk saja sudah paling murah Rp 17.200,- ditambah lagi kata petugasnya bahwa pantai ini adalah pantai kelas 2. Sungguh terlalu. Jadi sebenarnya bukan save the best, but save the cheapest for the last. Hahaha. Dipersimpangan jalan engkong bertanya, “belok mana?”
”kiri”
Saat mobil dibelokkan ke kiri, kami menyusuri jalan yang sangat sepi, hening dan tak berpenghuni. Semakin jauh mobil berjalan, jalanan semakin sepi. Tidak ada rumah ataupun KM dan toilet umum yang saat itu adalah lokasi yang kami dambakan. Cukup was was namun hamparan laut yang tenang sore itu membuat kami memutuskan untuk menikmati sunset sebelum mencari spot untuk mendirikan tenda.


Tak ada kapal nelayan, hanya terdapat beberapa nelayan yang sedang menjala ikan dipinggir pantai dan seekor anjing liar yang telah mencuri snack kami. Benar benar sore yang sepi dan hening, suasana yang sangat jauh berbeda dari tempat-tempat sebelumnya.
Gelisah
Matahari sudah mulai menghilang, cahayanya samar-samar masih dapat kami rasakan dan membuat kami bergegas untuk segera berangkat. Kami tidak mungkin mendirikan tenda di pantai ini, sekeliling kami hanya ada semak belukar dan beberapa bangunan tua tak berpenghuni. Tidak ada kamar mandi maupun toilet untuk kami membersihkan diri kami yang basah sejak dari Green Canyon. Sama sekali tidak ada penduduk yang tinggal disini, tidak ada cahaya lampu dan hingar bingar percakapan yang kerap menemani disuatu desa dimalam hari.
”Kita balik ke Pangandaran saja lah” celetuk Adek yang saat itu tampak sudah cukup putus asa melihat gelap malam yang perlahan menyapa kami.
”Kita cari dulu lah, masa balik sih” mayoritas suara tidak menyetujui usul dari Adek. Akhrnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan memutar balik mencari simpang jalan tadi. Kami putuskan akan mencoba jalan yang satunya lagi, mungkin ada kehidupan disana. Harap harap cemas.
Cahaya
Tampak cahaya lampu dikejauhan saat mobil kami menyusuri jalan, beberapa rumah terlihat dan terdapat satu toko oleh-oleh dan beberapa warung. Layaknya surga yang dinanti, kami langsung memarkir mobil dan segera mencari Kamar Mandi umum untuk mandi dan berganti pakaian. Jalan kedepan sebenarnya masih panjang, agak sedikit nanjak dan cukup gelap bila dilihat dari tempat ini.Namun kami tidak ingin mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh, takut tidak bertemu kamar mandi umum lagi. Sekitar satu jam kami mandi dan beristirahat ditempat ini sebelum akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menyisiri jalan yang menanjak itu.
Kehidupan
Perlahan namun tak jauh dari sana, kami baru sadar ternyata inilah pantai Batu karas yang sebenarnya. Terdapat banyak penginapan, restoran sea food, warung dan tentu saja KM umum dan Toilet umum. Sedikit dongkol namun terasa cukup lucu, ternyata kami telah salah menduga area wisata yang sebenarnya. Mobil kami parkir ditepi jalan dan tenda kami dirikan dipinggir pantai. Sebelah kami sudah ada rombongan lain yang juga mendirikan tenda. Hmmmm...menu hari ini adalah makanan laut.
Ikan


Disekitar pantai Batu karas tidak terdapat tempat pelelangan ikan seperti di pantai timur Pangandaran. Tidak ada nelayan yang menjual ikan yang kerap bisa kita temui dipinggir pantai. Akhirnya Aku dan Bram berhunting ikan di salah satu dari 3 restorant seafood disana untuk mencari menu ikan bakar. Saat itu pilihan jatuh pada Ikan Kuwe seharga Rp 50.000/kg sudah dengan ongkos masak. Malam itu team memasak nasi sendiri dan ikan dimakan beramai ramai di pinggir pantai, di depan tenda. Sungguh malam yang menyenangkan.


Minggu 24 Mei 2009
Pagi hari barulah kami dapat melihat rupa asli dari pantai Batu Karas. Tidak jauh berbeda dari pantai sebelumnya. Berpasir hitam, banyak penjual dan para turis domestik yang meramaikan pantai. Pagi hari air laut mulai pasang, dan sekitar pukul 09.00-10.00 kami sampai harus menggeser tenda beberapa kali ke arah lebih keluar dari pantai sebab ombak mampu mencapai tenda kami. Seperti bermain kucing-kucingan dengan ombak.
Ongkos toilet/Kamar Mandi umum adalah flat Rp 2000,-. Untuk pemakaian satu jam, atau hanya 3 menit harganya tetap sama. Pukul 13.00 kami pun bergegas kembali ke Bandung.
Berikut referensi harga yang dipakai saat itu.


Ciamis adventure is a recommended track.

Senin, 13 Juli 2009

Rafting bersama Riam Jeram

Weekend 11-12 Juli 2009 adalah pertama kali nya saya mengunjungi operator Riam Jeram, Sukabumi untuk mengikuti acara outing dari salah satu vendor.

Sabtu 11 Juli 2009
Kami diturunkan dari bus di area meeting point Riam Jeram. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menggunakan mikrolet menuju lokasi Riam Jeram. Disana kami dijamu dengan es kelapa muda yang segar. Duduk disaung dengan semilir angin yang sejuk sambil menikmati pemandangan Cicatih dibawah tebing.


Hari pertama di isi dengan 4 games dari fasilitator Riam Jeram. Kemudian kami bermain paint ball.
Pukul 18.00 kami menyelesaikan seluruh permainan dan bergegas untuk mandi dan makan malam. Ternyata para fasilitator dari Riam Jeram sangat penuh semangat dengan memberikan games-games setelah makan malam. Entah kenapa saat itu perut terasa sangat tidak enak, kembung dan sakit. Saya memutuskan tidak melanjutkan games-games terakhir dan lebih memilih menjadi fotografer dadakan. Saat tidur tiba, saya sangat tersiksa sebab perut terasa sangat sakit dan kembung. Saya tidak bisa tidur dan sangat gelisah. Akhirnya saya diare. Dua kali bolak balik kamar mandi dengan pup cair bak air keran.

Minggu 12 Juli 2009
Lengkap sudah penderitaan ku saat pagi hari saya memuntahkan semua makanan yang masih ada dilambung. Saat menunggu kamar mandi yang saat itu semua terisi, saya tak tahan kuasa dan akhirnya muntah dipinggir saung. Mohon maaf kepada pihak Riam Jeram karena saya sudah mencemari keindahan saung anda

SEMAANGGAATTT...!!!! setelah muntah, perasaan menjadi sedikit membaik, namun perut masih terasa mules. Saya tidak berani makan pagi itu. Hanya minun segelas teh hangat dan sebuah tempe goreng. Dalam hati saya berkata ”Gw gk mau nge-dayung tar, mo nyante-nyante aja jadi turis, kan lagi tatiiittt” hehehe...begitulah kira-kira niat licik dalam otak saya yang pada kenyataannya tidak terlaksana, sebab saya lupa kalau sedang sakit perut, senang bisa rafting di cicatih mengalahkan rasa lemas yang ada. Sekitar pukul 08.00 kami naik mobil bak terbuka dengan 3 kursi panjang di dalamnya dan menuju daerah lokasi start pengarungan. Perjalanan ternyata sangat jauh, sekitar 45 menit perjalanan menuju lokasi. Pengarungan kali ini katanya akan menempuh jarak sekitar 12.5 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam.

Cicatih....here I come!!!

Saya mendapat perahu yang lebih kecil dari yang lain, beranggotakan saya sendiri, Iyank, Exa, Mas Sigit dan Kang Aang selaku skiper. Kang Aang ternyata sudah sangat senior, beliau datang ke Cicatih sejak tahun 2006 tepatnya sejak Riam Jeram berdiri. Jangan-jangan beliau adalah anggota Aranyacala Trisakti. Ahaha..saya lupa bertanya.

Cicatih memiliki jeram-jeram yang sangat mengasikkan, sayang sekali kami berkunjung saat air sungai lagi dibawah debit normal, mungkin ada baiknya bisa mencoba lagi saat musim hujan, dijamin akan lebih mengasikkan. Disepanjang sungai saya sempat melihat beberapa ekor biawak, tak jarang terlihat sekelebat binatang dipohon, yang kata Kang Aang adalah monyet. beberapa kilomometer sebelum finish, kang Aang bertanya padaku ”Dulu waktu di kampus pernah belajar jadi skiper?”
”Iya pernah” jawabku
”Mau bawa gk?”
Duh...kapan lagi nge-skiper di Cicatih. Langsung saya beranjak dan berpindah posisi memegang kendali skiper. Wah...sdh sangat lama sekali saya tidak duduk diposisi ini. Meskipun sudah dibantu Kang Aang, namun rasa lemas sehabis diare sungguh menyita tenaga, waktu yang singkat, namun sangat menyentuh. Mungkin lain kali saat pengarungan berikutnya Kang Aang mau membantu me-refresh ingatan akan asyiknya bertualang membawa perahu.

Pengarungan pun berakhir, dan selanjutnya Flying Fox yang menjadi target selanjutnya. Peserta yang lain begitu sampai darat langsung bergegas mandi, mungkin dalam pikiran mereka air sungai yang coklat perlu segera dibersihkan dari badan. Takut gatal dan merasa tak nyaman. Saya, Iyank, Dewi, Mitha dan Mba Dewi lebih memilih duduk minum teh hangat sambil menunggu kru Riam Jeram untuk menyiapkan Flying Fox. Saat itu saya memilih gaya superman. ”AAAArrrrggghhhhhhhhh” mengapa setiap kali berada dalam ketinggian saya sangat gemetar. Ternyata fobia ketinggian tetap sulit aku hilangkan meskipun sudah beberapa kali memanjat tebing, vertical caving dan Flying Fox. Lengkingan suaraku sangat kencang dan membuat para kru tersenyum. Saat tiba dibawah mereka langsung berkata ”Ayo coba lagi, pasti lebih seru”. Lompatan kedua ternyata lebih mudah, superman is flying.


Setelah makan siang dan mandi, packing dan acara penutupan kami pun berpamitan. Sampai jumpa lagi Riam Jeram, sampai jumpa lagi Cicatih, sampai jumpa lagi Kang Aang dan para fasilitator. Terima kasih atas 2 hari yang menyenangkan ini.

Special thanks to team MIG : Mitha, Mba Dewi yang dah baik banget, Jolang, Mas Sigit, Exa, bos MIG yang dah nyiapin acara ini dan terutama Mba Dewi yang dah ngajakin gw ikutan outing anak-anak Transmisi planning.

Indahnya Hubungan PRT dan Majikan Asal Malaysia

Topiknya agak gk nyambung dengan tema blog, tapi sangat bagus dan bisa memberikan kita sedikit pandangan yang berbeda terhadap pemberitaan PRT Indonesia di Malaysia saat ini. Sekali kali gk nyambung dimaafkan lah yaaa

Senyum bahagia tampak tak pernah lepas dari wajah Eka Agustiningsih (38) ketika bersanding di pelaminan dengan Edi Taufik (48), suami yang baru saja menikahinya, Minggu (12/7) pagi.

Senyum itu tidak untuk dirinya sendiri, tetapi juga dibaginya kepada sekitar seribuan undangan yang datang ke pesta pernikahan yang pada hari itu digelarnya di Rumah Gadang Banuhampu di Jalan Sutrisno/Antara Medan, Sumatera Utara.

"Menurut abang, kira-kira apa yang sedang saya rasakan saat ini. Tentulah happy," katanya sambil tetap tersenyum bahagia ketika ditanya perasaannya setelah menikah di tanah kelahirannya.

Eka, begitu ia biasa dipanggil, sejak tahun 2003 bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Kuala Lumpur, Malaysia. Dia bekerja pada Dato’ Abdurrahman, pemilik beberapa perusahaan di sejumlah negara dan berada di bawah naungan "Rahman Brothers". "Pak Dato’ mengelola usaha biro perjalanan wisata dan showroom mobil, tidak hanya di Malaysia, tetapi juga di Shanghai dan bahkan di London," ujar Nuryawan Saputra, adik kandung Eka yang pada hari itu bertindak sebagai wali nikah bagi kakaknya.

Meski tampak sangat berbahagia, wanita kelahiran Medan, 9 Agustus 1971, itu juga mengaku diliputi kesedihan yang sangat mendalam karena dia dan suaminya telah memutuskan untuk menetap di Medan. Rencananya ia akan tinggal di Belawan, Medan, tempat kelahiran sekaligus rumah tempat tinggal suaminya. "Saya sangat sedih karena pernikahan ini akan membuat saya harus berpisah dari keluarga Pak Dato’ yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Saya pasti tidak akan pernah bisa melupakan kehidupan saya di Kuala Lumpur, meski saya hanya seorang pembantu rumah tangga," katanya.

Kendati demikian, ia menyadari tidak selamanya ia harus menjadi seorang PRT. "Memang berat, tapi demi masa depan semua ini harus saya jalani. Saya tentu juga ingin memiliki kehidupan sendiri, punya rumah tangga sendiri," ujarnya.

Menurut Eka, hubungannya dengan keluarga Dato’ Abdurrahman tidak seperti hubungan antara seorang PRT dan majikan, tetapi lebih seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya. Dia tidak pernah mendapat perlakuan kasar, sementara hak-haknya sebagai PRT juga selalu diberikan. Tidak hanya sampai di situ, setiap tahun ia juga selalu diajak jalan-jalan ke luar negeri, semisal ke Singapura, Brunei Darussalam, dan bahkan juga ke Bali.

"Setiap tahun di Kuala Lumpur kan ada ’musim cuti’. Jadi kita bisa pergi ke mana saja yang kita suka dan bahkan juga bersama keluarga Pak Dato’. Kalau pulang ke Medan jangan ditanya, pasti selalu diizinkan kalau kita memang harus pulang," ujarnya.

Bahkan, beberapa PRT atau pekerja lainnya juga sudah diajak melaksanakan ibadah umrah ke tanah suci Mekkah. "Pak Dato’ punya banyak pekerja, baik sebagai pembantu rumah tangga, maupun di perusahaan, dan beberapa bahkan sudah diajak umrah," katanya.

Kepada Eka Agustiningsih, Dato’ Abdurrahman juga memberikan perlakuan yang istimewa. Meski tidak sempat dibawa umrah, tetapi ia ikut membiayai pesta pernikahan sekaligus mendirikan sebuah musala di kampung halaman mantan PRT-nya itu.

Menangis

Dato’ Abdurrahman juga datang ke pesta pernikahan Eka Agustiningsih dan Edi Taufik. Dia tidak datang sendiri, tetapi juga membawa istri, anak-anak serta sejumlah anggota keluarga dan beberapa relasi bisnisnya. "Jumlah tamu dari Kuala Lumpur sekitar 20 orang, satu bus pariwisata," ujar Neli, salah seorang kerabat dekat Eka Agustiningsih.

Dato’ Abdurrahman sendiri bahkan tidak bisa menahan perasaan harunya ketika diminta pihak keluarga mempelai untuk memberikan kata sambutan menjelang proses pernikahan. Ia tampak meneteskan air mata. "Keluarga kami merasa sangat-sangat kehilangan karena mulai kini Eka tentu tak lagi bersama kami di Kuala Lumpur," katanya sambil sesekali menyeka matanya yang basah.

Bagi dia dan keluarganya, Eka tidak lagi dipandang sebagai seorang PRT, tetapi lebih seperti keluarga sendiri. Karenanya ia berharap Eka Agustiningsih tidak begitu saja melupakan keluarga di Kuala Lumpur. "Kami harap Eka sekali-sekali tetap mau datang ke Kuala Lumpur. Pintu rumah kami akan selalu terbuka buat Eka dan keluarga. Bila nanti kami ada kesempatan, mohon kami dizinkan pula untuk boleh datang menjenguk keluarga di sini," katanya nyaris terisak.

Eka sendiri, ketika ditanya pendapatnya tentang nasib PRT di Malaysia yang sering mendapat perlakuan tidak pantas dari majikannya, mengaku sangat beruntung mendapatkan majikan seperti Dato’ Abdurrahman. "Saya beruntung menjadi pembantu Pak Dato’, mungkin karena dia keturunan Melayu. Memang banyak juga kawan-kawan yang mendapat perlakuan tidak wajar dan tidak pantas dari majikannya, tapi biasanya jika majikan mereka itu berasal dari etnis lain, dan itu pun tidak semuanya begitu," katanya.

Menurut Eka, segala sesuatunya terpulang kepada masing-masing individu itu sendiri, baik itu pekerja, maupun majikannya. "Kalau kita baik, tentu majikan juga akan berperilaku baik kepada kita," katanya.

Apa pun yang dialami pekerja Indonesia di negeri jiran dan juga di banyak negara lain, menurut dia, sepenuhnya tergantung kepada pribadi masing-masing. "Karena yang pasti semua majikan itu kan juga manusia," katanya.

dikutip dari kompas.com