Selasa, 30 Agustus 2011

Bungkusan untuk Berbuka

Mata seorang anak kecil terus tertuju pada sebuah bungkusan yang tidak sengaja terjatuh di tengah jalan. Sebuah kue bolu tergelinding keluar dari bungkusan tersebut. Anak lelaki itu hanya terdiam membisu saat motor yang dikendarai ayahnya perlahan berhenti ke tepi jalan. Tatapan kesedihan anak lelaki itu tertransformasi sempurna ke wajah sang ayah. Bungkusan untuk mereka berbuka puasa di rumah, jatuh berserakan.

Senin 29 Agustus, pukul 4 sore kejadian tersebut sontak membuat laju motor yang kukendarai melambat sejenak. Melihat kearah bungkusan yang terjatuh dan tatapan anak dan ayah tersebut seketika membuatku jatuh dalam kesedihan yang serupa. Makanan itu sudah berserakan di jalan, dan sang ayah masih berusaha untuk menyelamatkan menu berbuka hari itu. 

Pikiranku mendadak tidak karuan memikirkan bungkusan berbuka puasa anak lelaki yang mungkin saat itu masih belajar menjalankan puasa penuh. Apa jadinya bila mereka tidak punya uang lagi untuk membeli menu berbuka yang baru? atau apakah mereka hanya dapat membeli menu yang tidak terlalu istimewa untuk mengganti bungkusan itu?

Peristiwa ini membawa pikiranku melayang jauh membuat konsentrasiku menjadi kosong. Rasa kasihan yang saya rasakan sama sekali tidak memberikan solusi untuk anak dan ayah yang malang itu. Rasa kasihan hanya membuatku salah jalan karena konsentrasiku terinterupsi olehnya. 

Sebagian besar masyarakat Indonesia akan bersikap sama dengan apa yang kulakukan tadi, apatis. Hal itu karena kita semua telah hidup sekian lama di kota besar. Sifat pasif dan malas terlibat seakan menyelubungi seluruh badan membuat kita hanya dapat bergumam tanpa aksi yang nyata.

Peristiwa tadi mungkin kecil dan tidak lebih dari 10 detik namun memiliki makna yang sangat besar, sehingga membuatku ingin berbagi kisah ini. Semoga setelah membaca ini, tidak ada lagi Onnie Onnie lain dengan sikap apatis layaknya sore tadi.

Rabu, 24 Agustus 2011

Pelajaran sebuah senyum

Pikiran melayang dan menapaki suatu stadium dimana pikiran liar menari-nari memenuhi neuron-neouron otak dan membuatnya berdansa. Suatu masa yang mana setiap manusia di bumi ini sering melakukannya. Berkhayal dan bermimpi adalah pra-langkah kita dalam mencapai tujuan yang besar.

Mimpi adalah kunci untuk membuka pintu masa depan. Dari sebuah mimpi, anak seorang petani dapat bersekolah hingga ke Jepang dan menjadi peneliti hebat. Orang-orang yang berani bermimpi adalah orang dengan satu langkah lebih awal menuju sukses.

Mungkin pada suatu ketika saya ingin bertanya kepada seorang pengemis dijalan, seorang tuna wisma, ataupun seorang penjual jamu gendong. Apakah mimpi dari mereka?

Seorang ibu dengan jamu gendong bawaannya terlihat keluar dari sebuah gang sempit. Masih jam 3 sore hari, sekitar 3 jam menjelang buka puasa. Ibu itu tersenyum padaku sembari dia berjalan untuk memulai menjajakan jamu jualanannya. Ah, siapakah yang akan meminum jamu di jaman yang modern ini? Masih 3 jam menjelang buka puasa, apakah ibu ini hanya mengisi waktu saja berjalan selama 3 jam sebelum orang berbuka? Negara ini, atau lebih tepatnya, kota ini memang bhineka tunggal ika, tidak semua beragama muslim dan berpuasa. Namun, pikiran ini tak henti ingin bertanya, kemana gerangan ibu ini berjualan?

Sebuah senyum yang dia sampaikan sesat ketika menatap saya seakan ingin mengucapkan sebua mimpi yang ia miliki. Entah apapun mimpi dari ibu penjual jamu gendong, senyum yang ia ciptakan sebelum berangkat bekerja adalah awal yang baik untuk memenuhi mimpinya.

Terima kasih atas pelajaran hari ini, sebuah senyum sebelum beraktifitas dalam menggapai mimpi.