Minggu, 18 Desember 2011

Pungli? Bukan…sumbangan kok

Pungutan liar atau yang beken dengan sebutan pungli sudah sangat umum kita jumpai di negara kita ini, Indonesia tercinta. Mulai dari pungli yang berasal dari aparat dan pejabat negara hingga para preman yang meminta “jatah” kepada para pedagang/orang yang mencari rejeki di “wilayah” mereka. Namun kali ini saya akan menyorot suatu aktivitas yang seakan seperti pungli, namun memiliki nama “sumbangan” sebab bukan suatu paksaan atau kewajiban.

“Maaf mbak, apakah mau memberikan sumbangan Rp 1000, per kupon ke P*I?”, sahut lembut seorang kasir bioskop saat saya ingin membayar tiket nonton theater saat itu. Ketika saya mengambil dompet dan tangan kasir sudah hampir merobek kupon tanda pembayaran sumbangan, seketika teman saya melarang saya untuk membayarnya. Dengan ketus dia mengatakan bahwa lembaga tersebut sudah memiliki anggaran dana yang sangat besar dari pemerintah dan tidak setuju bila masih saja meminta sumbangan seperti itu. Ternyata di seluruh bioskop dengan label yang sama menerapkan hal yang serupa, meminta sumbangan saat tiket akan dibayar. Sedikit setuju dengan argumen teman saya dan terlepas dari kenyataan pelit atau memang “kere” saya selalu menolak untuk menyumbang dan terkadang sedikit bercanda dengan mengatakan, “Saya sudah sering donor d*r*h kok mbak.” Mbak-nya lantas tersenyum sinis (eh manis deh), mungkin dia mengira saya berbohong, namun saya memang rutin melakukannya, setiap 3 bulan sekali bila tidak lupa dan memenuhi syarat tentu saja.

Demikian kejadian tersebut terus berlansung namun buat saya itu sama sekali tidak mengganggu dan dapat  diterima. Hingga pada suatu ketika belum lama ini, sayapun mulai terganggu. Saat ingin membayar tiket, mbak kasir yang selalu ramah itu mengatakan, “Dua tiket, Rp 42 ribu mbak..(@Rp 20 ribu)”, sambil menyiapkan 2 tiket theater dengan potongan kupon sumbangan P*I yang sudah disobek 2 lembar. Dengan lugu dan polos saya bertanya apakah sumbangan ini sudah menjadi kewajiban bila ingin nonton theater? Ternyata tidak, sehingga saya (lagi-lagi) menolak membayar sumbangan tersebut. Kejadian ini sontak membuat saya sedikit dongkol karena tindakan (baca: taktik baru) meminta subangan tersebut seperti memaksa dan memanfaatkan kebiasaan refleks otak manusia.

Untuk berargumen sepertini ini, sama sekali tidak diperlukan penjelasan ilmiah yang rumit namun cukup dengan mencoba mengingat-ngingat kebiasaan otak kita sehari hari. Saat kita disodori pertanyaan, otak kita akan memproses pertanyaan itu terlebih dahulu. Sehingga pada saat kasir bertanya, “Apakah anda mau menyumbang Rp 1000?” otak akan memproses pertanyaan "mau atau tidak?" dan seketika berbagai kemungkinan dan perhitungan muncul dalam otak kita sehingga dalam waktu sepersekian detik kita bisa memilih untuk menjawab “Tidak” kepada kasir yang ramah itu. Berbeda halnya bila kita disodori sebuah kalimat hasil seperti, “Semuanya Rp 42 ribu mbak”. Yang diproses dari otak kita adalah Rp 42 ribu sehingga, dalam waktu sepersekian detik juga, otak akan memproses perintah agar tangan kita segera mengeluarkan uang dan membayar nominal tersebut.

Untuk orang-orang kritis, pas-pasan bawa duit, perhitungan dan pelit, hal ini mungkin menjadi obstacle (penghalang) sehingga akan di-counter dengan bertanya balik seperti yang saya lakukan. Namun, sebagian besar orang tidak mempermasalahkan hal tersebut karena dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan faktor eksternal. Bisa saja karena malu sama pacar, tidak mau dianggap pelit/perhitungan oleh teman-teman, tidak mau repot berpikir, ingin cepat, atau karena baru sadar saat sudah menyerahkan uang.

Dari sepenggal kejadian ini mungkin kita akan berfikir bahwa, bila kita membeli satu tiket akan ditawarkan (baca: diminta) menyumbang satu kupon. Bila anda berfikir seperti ini, ternyata tidak demikian. Jumlah kupon yang diminta untuk dibayar sangat bergantung pada kasir ramah yang melayani anda. Sebab pada suatu ketika, saat ingin membayar 27 tiket, mbak kasir yang ramah hanya menambahkan 5 kupon sumbangan dalam nominal pembayaran akhir. Kali ini saya mengalah dan membayar sumbangan tersebut.

Hingga kini saya belum pernah melihat laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban penggunaan uang sumbangan dari masyarakat ini. Paling tidak disetiap titik penyebaran kupon sumbangan dipajang laporan sementara jumlah dana terkumpul dan penggunaannya itu sudah “lari” kemana? Semua bentuk sumbangan diarahkan untuk membantu yang berkekurangan pasti di-amin-kan dan didukung penuh oleh masyarakat. Namun tentu saja diperlukan laporan penggunaan dana yang transparan oleh lembaga yang bersangkutan. Masyarakan tidak perlu bertanya-tanya lagi dananya sudah dipakai kemana, dan dapat menghilangkan pikiran negatif bila dana di-serong-kan ke kantong yang tidak seharusnya.

Hati nurani, pintu pertanggungjawaban terakhir

Transparansi itu perlu untuk sesuatu yang sangat sensitive seperti uang. Jangankan Rp 1000,- , uang Rp 100,- saja bila ada 100 juta orang yang menyumbangkan uang kembalian mereka sesudah berbelanja bisa terkumpul Rp 1 miliyar. Salah satu lembaga kemanusiaan internasional juga mengumpulkan sumbangan di tempat umum bekerja sama dengan kasir. Sepengetahuan saya, program ini sudah cukup lama mereka jalankan sebelum lembaga P*I mengikuti ide tersebut walaupun dengan cara yang lebih primitif (memakai kupon). Lembaga ini berusaha bertindak professional, bijak dan cukup transparan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan kasir-kasir pusat perbelanjaan yang bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan ini. Sebelum memberi tahu nominal pembayaran akhir kepada pelanggan, mereka akan selalu bertanya terlebih dahulu, apakah uang receh kembalian mereka ingin disumbangkan. Mereka baru akan memproses sumbangan yang nominalnya akan tertera pada struk belanja bila pelanggan menyetujui. Bila ternyata kembalian pelanggan tidak ada yang receh, mereka tidak akan meminta sumbangan. Jumlah pengumpulan dana sementara dipajang disetiap titik kasir yang bersangkutan sehingga setiap konsumen yang memberikan kembalian mereka mengetahui bahwa sedikit receh yang tidak begitu berarti bagi mereka bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Memang, hal ini tidak serta merta membuktikan bahwa dana tersebut benar-benar disalurkan seutuhnya kepada mereka yang disebutkan. Sebagian orang berargumen bahwa sebagian besar dana sumbangan tersebut digunakan untuk membayar gaji para pegawai lembaga kemanusiaan tersebut lengkap dengan fasilitas yang super mewah. Mengerutkan dahi, itu yang spontan saya lakukan. “Tega benar mereka”, pikirku. Namun saya cukup pada titik tindakan profesional mereka yang sudah mau berbagi informasi penggunaan dana tersebut. Satu nilai tambah untuk mereka, masalah kemana dan apakah tepat sasaran dana yang disalurkan itu akan menjadi pertanggungjawaban dengan hati nurani mereka sendiri sebagai pintu terakhir.