Minggu, 05 Agustus 2012

Manusia dan Tebing

Dengan dua motor bebek, empat orang bergerak dari sekretariat Astacala ke lokasi panjat tebing di Citatah, Sabtu 28 April 2012. Tebing 125, demikian namanya dikenal dikalangan para pemanjat. Tebing ini merupakan kawasan karst di wilayah Citatah, Padalarang, Jawa Barat.  Selain menggunakan kendaraan pribadi, lokasi ini dapat kita capai dengan menggunakan bus jurusan padalarang, harganya sangat terjangkau, cukup Rp. 5 ribu kita sudah dapat menikmati perjalanan yang biasanya ditembuh sekitar 1.5 jam dengan bus ber-AC. Apabila menggunakan bus biasa tanpa AC, harganya Rp. 3 ribu. 

Karena lokasinya yang mudah dijangkau, lokasi ini menjadi favorit dan tidak pernah sepi oleh penggiat panjat tebing. Tak hanya dari Bandung atau Jawa barat, terkadang juga terdapat beberapa pemanjat dari luar daerah. Malam itu kami sampai sekitar pukul 9 malam, setelah sempat diguyur hujan deras yang memaksa kami harus berteduh di Cimahi. Disana terdapat dua saung yang cukup besar yang biasa ditempati para pemanjat melewati malam. Tidak banyak yang berubah dari kawasan ini, hanya saja jalan masuk ke lokasi tebing yang sudah digeser dan terdapat beberapa cerita mengenai konflik yang sedang terjadi antara para pecinta alam dan warga sekitar. 

Pabrik Marmer
Kawasan karst di Citatah sudah menjadi kawasan pengeboman sebagai bahan baku dari pabrik pembuatan marmer yang sangat besar. Kegiatan yang sudah berlangsung sekian lama ini membuat gunung karst di Citatah menjadi menipis setiap tahunnya. Dentuman bom kerap kami dengar berkali-kali, dan tibalah saat ini, saat tebing 125 juga akan dihancurkan. Hal ini tentu saja menjadi konflik yang alot antara para pecinta alam dan warga yang mencari nafkah di pabrik. Sebuah spanduk yang menolak penghancuran tebing dibentangkan, tertera nama kelompok pecinta alam yang menolaknya. Sesuatu hal yang ironis, sebab seharusnya alam tidak untuk diperebutkan. Alam haruslah menjadi penengah dan kebahagiaan bagi setiap manusia. Sikap manusia yang serakah dan egoislah yang kerap menjadikan alam sebagai ajang konflik tak berkesudahan.

Malam itu terasa sangat istimewa untukku. Sudah sangat lama sejak terakhir kali saya bermain ke tebing, mungkin ada sekitar 5 tahun yang lalu. Terdapat sebuah pabrik marmer dengan bongkahan marmer yang berserakan di halaman pabrik tepat dibawah saung yang kami tempati menjadikannya sebagai sumber penerangan tambahan selain lilin dan sinar bulan. Suara jangkrik menemani kami sepanjang malam dan suara tawa dari permainan poker malam ini seakan membawaku kembali ke masa lalu. Masa dimana saya belajar mengenal alam, masa dimana saya mengerti alam, dan masa dimana saya terhanyut akan keindahan alam liar. Memang, ini hanya di Citatah, yang masih sangat dekat dengan kota, namun sudah cukup menghibur kerinduan ini.

Bermain Poker
Materi pengenalan self rescue merupakan inti dari kegiatan kami kali ini. Self rescue merupakan materi untuk divisi peminatan Rock Climbing yang diikuti oleh Amin sebagai peserta, Babi sebagai instruktur, Arnan sebagai korban, dan saya sebenarnya cuma ingin jalan-jalan namun terjebak harus ikut membantu instruktur untuk materi. Ketika berjalan mendekati lokasi tebing panjat, saya melihat sudah sangat banyak pemanjat yang  memasang jalur. Ada yang dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) hingga Universitas Tarumanegara (UnTar), Jakarta. 

Instruktur - Rescuer - Korban 
Sebuah jalur artifisial sedang dibuat oleh seorang pemanjat wanita disebelah lokasi tempat kami memasang instalasi materi self rescue. Jalur ini sebenarnya adalah jalur yang umum digunakan dan merupakan jalur yang cukup mudah untuk pemula. Pemanjat ini menjadi menarik perhatian kami sebab selain karena jalur yang memang berseberangan langsung dengan lokasi kami, beberapa kali terdengar teriakan panduan dari rekan-rekannya di bawah dan juga dari puncak jalur pemanjatan. 

“Sling nya habis, tinggal satu” teriak si pemanjat wanita yang saat itu posisinya berada sekitar satu meter diatas sling runner terahir dan sekitar dua meter dibawah puncak jalur. Sebagai seorang pemanjat tebing, apa yang anda lakukan apabila pengaman anda habis beberapa meter di bawah puncak jalur? Sebagai seseorang yang sudah cukup lama (ehem..) menjadi penggiat di alam terbuka saya cuma akan memberikan tiga kata: "safety procedure first". Pikirkanlah apa yang menjadi safety procedure yang sudah kalian pelajari, itu yang harus dilakukan.

Suasana tebing 125
Tiba-tiba terlihat seseorang dari puncak jalur yang merupakan teman pemanjat menurunkan sebuah webbing kearah pemanjat. Webbing tersebut diraih oleh kedua tangan pemanjat wanita tersebut. Pemandangan yang cukup aneh, itu yang saya rasakan. Saya kemudian memutuskan untuk turun dari lokasi instalasi materi dan memastikan jalur tali aman dari bawah. Saat sedang berbincang dengan teman setim pemanjat, terdengar kepanikan dan seketika saat saya melihat kearah pemanjat, kepalanya sudah berada dibawah, satu meter dibawah sling runner terakhir. Pemanjat tersebut terjatuh, kepalanya membentur batu, namun dia masih sadar. Terlihat dia masih dapat menggerakkan leher dan matanya masih terbuka. Dia terjatuh sekitar 3 meter dari lokasi terakhir. Pemandangan ini terlihat sangat ironi. Masih teringat saat pemanjat ini meminta turun karena dia sudah kelelahan dan kehabisan sling pengaman namun tidak diindahkan oleh teman-temannya yang kerap menyemangatinya untuk menggapai puncak yang sebentar lagi dapat dia raih.

Pemanjat wanita itu berhasil di-rescue dengan selamat dan untungnya keadannya tidaklah parah. Disini saya tidak akan membahas bagaimana mereka me-rescue atau perbedaan apa yang cukup crucial dari teknik back-up belay ataupun teknik memanjat mereka. Saya hanya ingin berbagi kisah bahwa  kecelakaan saat bermain di alam adalah hal yang pasti dapat terjadi dan harus dapat  diantisipasi dengan sigap dan benar. Namun menghindari kecelakaan adalah hal yang lebih penting. Ini yang kadang diabaikan oleh para penggiat olahraga alam terbuka. Mereka mementingkan skill, gaya dan fun namun safety procedure kerap terabaikan. 

Beruntung saya besar dan belajar mengenal alam bersama Astacala, yang sangat mengedepankan safety procedure. Sebuah kegiatan tidak boleh dijalankan apabila safety procedure belum komplit. Persiapan yang matang dan cenderung lama karena harus memastikan semuanya aman itu lebih baik daripada bergerak cepat namun kemudian harus di-rescue. Yah kami masih menganut nasehat orang tua jaman dulu, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, perisapan boleh lama agar kemudian senang sampai akhir.

Manusia Baru

Apakah pagi esok akan menyapa kita yang terbangun di atas tempat tidur sebagai manusia yang baru atau kita tetap memilih untuk menjadi manusia lama yang menyapa hari yang baru?

Seperti biasa, dihari Minggu pagi tadi saya menyempatkan waktu untuk ke Gereja. Namun tidak seperti biasanya, pagi tadi saya mendengar firman Tuhan dengan seksama. Hari ini Tuhan berbicara kepadaku melalui Surat Rasul Paulus kepada umat di Efesus 4: 17,20-24. Disana dijelaskan bahwa setiap manusia tentunya terhubung dengan kehidupannya yang dahulu, dimana dia mungkin mengenal Allah namun hidup seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah. Orang-orang itu harus menaggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya karena nafsunya yang menyesatkan supaya ia dibaharui dalam roh dan pikiran dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Pernahkah anda seperti ini: Sudah tau salah, sudah tau dosa, tapi tetap dilakukan, namun kemudian bertobat, lalu berbuat dosa lagi kemudian bertobat lagi, begitu seterusnya. Dengan demikian kita hanya akan menjadi manusia lama sepanjang hidup ini. Pikirkanlah bahwa tidak akan ada lagi hari esok yang cukup untuk membuat anda bertobat. Pikirkanlah bahwa anda hanya akan hidup hanya untuk hari ini saja, dan apabila esok hari anda masih bisa membuka mata, itu adalah bonus yang harus anda gunakan untuk menjadi manusia baru di hari yang baru. Tanggalkan manusia lama dan jadilah manusia baru.