Senin 29 Agustus, pukul 4 sore kejadian tersebut sontak membuat laju motor yang kukendarai melambat sejenak. Melihat kearah bungkusan yang terjatuh dan tatapan anak dan ayah tersebut seketika membuatku jatuh dalam kesedihan yang serupa. Makanan itu sudah berserakan di jalan, dan sang ayah masih berusaha untuk menyelamatkan menu berbuka hari itu.
Pikiranku mendadak tidak karuan memikirkan bungkusan berbuka puasa anak lelaki yang mungkin saat itu masih belajar menjalankan puasa penuh. Apa jadinya bila mereka tidak punya uang lagi untuk membeli menu berbuka yang baru? atau apakah mereka hanya dapat membeli menu yang tidak terlalu istimewa untuk mengganti bungkusan itu?
Peristiwa ini membawa pikiranku melayang jauh membuat konsentrasiku menjadi kosong. Rasa kasihan yang saya rasakan sama sekali tidak memberikan solusi untuk anak dan ayah yang malang itu. Rasa kasihan hanya membuatku salah jalan karena konsentrasiku terinterupsi olehnya.
Sebagian besar masyarakat Indonesia akan bersikap sama dengan apa yang kulakukan tadi, apatis. Hal itu karena kita semua telah hidup sekian lama di kota besar. Sifat pasif dan malas terlibat seakan menyelubungi seluruh badan membuat kita hanya dapat bergumam tanpa aksi yang nyata.
Peristiwa tadi mungkin kecil dan tidak lebih dari 10 detik namun memiliki makna yang sangat besar, sehingga membuatku ingin berbagi kisah ini. Semoga setelah membaca ini, tidak ada lagi Onnie Onnie lain dengan sikap apatis layaknya sore tadi.