Jumat, 31 Juli 2009

Menjelajah Pantai Selatan, menyusuri Green Canyon

Sabtu 23 Mei 2009
Perjalanan kali ini dipilih lokasi pesisir selatan. Delapan orang (Adek, Jeki, Gimbal, Engkong, Supari, Bram, Ocha dan saya) dengan style backpacker menyewa sebuah mobil panter untuk mengantarkan kami selama 2 hari kedepan dengan biaya Rp.250.000/hari. Jam 00.30 kami bergerak dari secretariat Astacala, Bandung menuju pantai Pangandaran. Pukul 05.30 kami tiba di pangandaran, beristirahat sejenak dan sarapan bubur ayam di depan mesjid Al-Istiqomah. Setengah jam kemudian kami bergerak memasuki kawasan pantai pangandaran, dengan membayar uang masuk mobil sebesar Rp 27.000.
Pantai Barat Pangandaran
Inilah kali pertama saya melihat pantai pangandaran secara langsung. Menurut kabar, pantai ini tidak begitu bagus karena agak kotor dan ternyata kabar tersebut memang benar. Meskipun pantai sangat ramai dengan berbagai losmen, hotel maupun cottage, para pedagang dan para pengunjung berbaur ramai ditepi pantai membuat pantai tampak sangat penuh. Anak anak berlarian, muda mudi yang bercengkrama, para nelayan dan perahu yang terlihat ditepi pantai juga para penjual yang menjajakan berbagai macam makanan maupun mainan dan aksesoris, sungguh pagi yang sangat ramai.


Pantai Timur Pangandaran
Bosan berjalan jalan di pantai barat, kami memutuskan beranjak menuju pantai timur. Di pantai timur sudah dibangun pemecah ombk disepanjang pantai, jadi kita tidak bisa lagi melihat hamparan pasir pantai disana. Yang ada adalah batu batu karas berwarna hitam yang disusun sebagai pemecah pantai. Disekitaran pantai terlihat pelelangan ikan dan beberapa restoran makanan laut. Jeki langsung mengambil posisi untuk mengambil gambar desekitar pantai dengan camera Nikon D60, adek dan aku juga berhunting ria dengan camdig pocket.


Tak terasa matahari sangat terik menyengat kulit, mata terasa sedikit berat dikarenakan kami belum sempat tidur sejak perjalanan dari bandung. Puas hunting, dan seakan diusir dari pantai oleh sengatan sinar matahari pagi yang entah kenapa terasa sangat menyiksa kami pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Pukul 07.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Batu Hiu.
Batu Hiu
Sekitar 30 menit perjalanan kami pun sampai di kawasan pantai Batu hiu. Kami hanya dikenakan karcis masuk untuk mobil sebesar Rp 27.000,-. Tidak ada biaya masuk perorang sama seperti di pantai Pangandaran. Konon katanya, nama batu hiu diambil karena terdapat sebuah batu besar yang mirip sirip ikan hiu.


Di kawasan batu hiu, kita dapat menikmati pantai dari dua spot area yang berbeda. Yang pertama bisa menikmati pantai sama seperti pantai pada umumnya, yaitu lepas pantai dengan pasir hitam. Atau apabila ingin mendapatkan view yang berbeda, kita bisa naik kearah bukit dan akan menemukan spot yang sangat indah untuk menikmati pantai dari atas tebing.


Tempat yang asik untuk beristirahat. Ditemani oleh hamparan pohon yang rindang, dan hijaunya rumput membuat hati tak kuasa untuk merebahkan badan.


Saya yakin, siapapun yang melihat spot ini, pasti akan langsung mencari tempat untuk bersantai dan menikmati indahnya biru air laut dan deru ombak. Don’t believe it, just try it!


Hari itu Adek dan Bram yang menjadi koki, kami makan bakwan kornet dan...lupa...seingatku menunya tidak begitu menarik, namun thanks to the chef yang sudah bersedia masak untuk kami siang itu. Berkat mereka perut keroncongan ini dapat diam sejenak. Kami juga sempat menikmati segarnya kelapa muda yang disana dihargai Rp 5.000,-/buah. Setelah kenyang kami pun bisa melanjutkan perjalanan ke tempat yang cukup legendaris di Jawa Barat, ”GREEN CANYON”.
Green Canyon a.k.a Cukang Taneuh


Sesuai dengan predikatnya sebagai tempat yang legendaris, kami harus merogoh kocek cukup besar untuk dapat menikmati indahnya sang Legendaris. Satu buah kapal dihargai Rp 75.000,- dan itu pun maksimal untuk 6 orang (padahal untuk kapasitas perahu bisa hingga 10 orang) Karena saat itu kami berdelapan, dan petugas tidak mau dinego agar kami cukup memakai 1 perahu, kami pun menyewa 2 perahu. Aku, Jeki, Bram dan Supari satu perahu. Adek, Gimbal, Engkong dan Ocha diperahu yang kedua. Satu perhu ditemani oleh seorang nahkoda dan asistant nya.
Hijau
Benar-benar hijau air sungai di Green Canyon, sungguh anda tidak dibohongi oleh iklan iklan atau media sponsor yang mungkin sempat anda ragukan. Disekitar kanan dan kiri sungai rimbun ditumbuhi oleh pohon dan daun daun hijau. Tak jarang kami pun melihat biawak ditepi sungai.


Perjalanan yang sebenarnya adalah saat perahu ini berhenti saat batu batu besar menghadang laju kapal dan membuat sungai menyempit. Saya melihat banyak sekali orang yang meninggalkan kapal mereka dan berjalan-jalan diatas batu yang besar itu. Inilah adventure yang sebenarnya, menjelajahi Green Canyon dengan pelampung yang sudah disiapkan dimasing-masing perahu. Tentu saja dengan ekstra cost. Untuk dua perahu kami membayar Rp 160.000,- . Ekstra cost ini sebenarnya biaya tunggu perahu plus guide.
Nyebur..
Kami harus nyebur untuk mengeksplore sungai ini. Bagaimana nasib kamera kami? Tukang perahu sudah mengatakan bahawa kami dapat membawa camera bila mau, namun aku, jeki, ocha dan adek tidak ada yang percaya. Bok ya kami full basah dan harus berenang, ditambah lagi tetesan-tetesan air dari atas yang cukup deras membuat kami memutuskan tidak membawa camera untuk ditinggal di perahu. Beberapa saat setelah nyebur, tukang perahunya bertanya
”Kok gk jadi bawa kamera?”
”Ini kan bagus kalau difoto”
”Padahal ini saya sudah siapkan plastik”


Saya cuman bengong dari bawah melihat tukang perahunya berjalan disisi tebing sungai yang saat itu memang bertekstur tebing goa. Ternyata tukang perahunya berjalan menemani kami dari sisi sungai, itulah sebabnya dia berkata kamera dapat dibawa, sebab dia yang akan memegang kamera tersebut buat kami. Oh my God!!one mistake!!. Beramai ramai kami meminta agar camera kami diambil diperahu, namun sayang perahunya sudah diparkir cukup jauh dari tempat kami. Sedih yang tak berujung karena tidak ada dokumentasi saat kami lompat dari ketinggian 7 meter layaknya lompat indah. Kurang lebih 2 jam kami bermain-main di sungai legendaris ini, sampai akhirnya kami pun pamit. Ini menjadi pengalaman indah sekaligus cukup pahit bagi kami. Untuk kunjungan kedua, dipastikan kamera akan selalu dibawa.hahaha.
Batu Karas
Kata orang sih, save the best for the last. Batu Karas adalah tujuan pantai tempat kami menginap, mendirikan tenda. Dari tarif masuk saja sudah paling murah Rp 17.200,- ditambah lagi kata petugasnya bahwa pantai ini adalah pantai kelas 2. Sungguh terlalu. Jadi sebenarnya bukan save the best, but save the cheapest for the last. Hahaha. Dipersimpangan jalan engkong bertanya, “belok mana?”
”kiri”
Saat mobil dibelokkan ke kiri, kami menyusuri jalan yang sangat sepi, hening dan tak berpenghuni. Semakin jauh mobil berjalan, jalanan semakin sepi. Tidak ada rumah ataupun KM dan toilet umum yang saat itu adalah lokasi yang kami dambakan. Cukup was was namun hamparan laut yang tenang sore itu membuat kami memutuskan untuk menikmati sunset sebelum mencari spot untuk mendirikan tenda.


Tak ada kapal nelayan, hanya terdapat beberapa nelayan yang sedang menjala ikan dipinggir pantai dan seekor anjing liar yang telah mencuri snack kami. Benar benar sore yang sepi dan hening, suasana yang sangat jauh berbeda dari tempat-tempat sebelumnya.
Gelisah
Matahari sudah mulai menghilang, cahayanya samar-samar masih dapat kami rasakan dan membuat kami bergegas untuk segera berangkat. Kami tidak mungkin mendirikan tenda di pantai ini, sekeliling kami hanya ada semak belukar dan beberapa bangunan tua tak berpenghuni. Tidak ada kamar mandi maupun toilet untuk kami membersihkan diri kami yang basah sejak dari Green Canyon. Sama sekali tidak ada penduduk yang tinggal disini, tidak ada cahaya lampu dan hingar bingar percakapan yang kerap menemani disuatu desa dimalam hari.
”Kita balik ke Pangandaran saja lah” celetuk Adek yang saat itu tampak sudah cukup putus asa melihat gelap malam yang perlahan menyapa kami.
”Kita cari dulu lah, masa balik sih” mayoritas suara tidak menyetujui usul dari Adek. Akhrnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan memutar balik mencari simpang jalan tadi. Kami putuskan akan mencoba jalan yang satunya lagi, mungkin ada kehidupan disana. Harap harap cemas.
Cahaya
Tampak cahaya lampu dikejauhan saat mobil kami menyusuri jalan, beberapa rumah terlihat dan terdapat satu toko oleh-oleh dan beberapa warung. Layaknya surga yang dinanti, kami langsung memarkir mobil dan segera mencari Kamar Mandi umum untuk mandi dan berganti pakaian. Jalan kedepan sebenarnya masih panjang, agak sedikit nanjak dan cukup gelap bila dilihat dari tempat ini.Namun kami tidak ingin mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh, takut tidak bertemu kamar mandi umum lagi. Sekitar satu jam kami mandi dan beristirahat ditempat ini sebelum akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menyisiri jalan yang menanjak itu.
Kehidupan
Perlahan namun tak jauh dari sana, kami baru sadar ternyata inilah pantai Batu karas yang sebenarnya. Terdapat banyak penginapan, restoran sea food, warung dan tentu saja KM umum dan Toilet umum. Sedikit dongkol namun terasa cukup lucu, ternyata kami telah salah menduga area wisata yang sebenarnya. Mobil kami parkir ditepi jalan dan tenda kami dirikan dipinggir pantai. Sebelah kami sudah ada rombongan lain yang juga mendirikan tenda. Hmmmm...menu hari ini adalah makanan laut.
Ikan


Disekitar pantai Batu karas tidak terdapat tempat pelelangan ikan seperti di pantai timur Pangandaran. Tidak ada nelayan yang menjual ikan yang kerap bisa kita temui dipinggir pantai. Akhirnya Aku dan Bram berhunting ikan di salah satu dari 3 restorant seafood disana untuk mencari menu ikan bakar. Saat itu pilihan jatuh pada Ikan Kuwe seharga Rp 50.000/kg sudah dengan ongkos masak. Malam itu team memasak nasi sendiri dan ikan dimakan beramai ramai di pinggir pantai, di depan tenda. Sungguh malam yang menyenangkan.


Minggu 24 Mei 2009
Pagi hari barulah kami dapat melihat rupa asli dari pantai Batu Karas. Tidak jauh berbeda dari pantai sebelumnya. Berpasir hitam, banyak penjual dan para turis domestik yang meramaikan pantai. Pagi hari air laut mulai pasang, dan sekitar pukul 09.00-10.00 kami sampai harus menggeser tenda beberapa kali ke arah lebih keluar dari pantai sebab ombak mampu mencapai tenda kami. Seperti bermain kucing-kucingan dengan ombak.
Ongkos toilet/Kamar Mandi umum adalah flat Rp 2000,-. Untuk pemakaian satu jam, atau hanya 3 menit harganya tetap sama. Pukul 13.00 kami pun bergegas kembali ke Bandung.
Berikut referensi harga yang dipakai saat itu.


Ciamis adventure is a recommended track.

3 komentar:

Cm4nk mengatakan...

Great!!
tapi dibanding Pangandaran,gw pribadi lebih milih Batu Karas..
lebih nyaman ^_^

onniechi mengatakan...

sama, cz lebih tenang, kalau pangandaran rame bbuuaanngggeettsss...!!

Adek Aidi mengatakan...

tulisan nya manstap..