Dengan dua motor bebek, empat orang bergerak dari
sekretariat Astacala ke lokasi panjat tebing di Citatah, Sabtu 28 April 2012. Tebing 125, demikian
namanya dikenal dikalangan para pemanjat. Tebing ini merupakan kawasan karst di
wilayah Citatah, Padalarang, Jawa Barat. Selain menggunakan kendaraan pribadi, lokasi
ini dapat kita capai dengan menggunakan bus jurusan padalarang, harganya sangat
terjangkau, cukup Rp. 5 ribu kita sudah dapat menikmati perjalanan yang
biasanya ditembuh sekitar 1.5 jam dengan bus ber-AC. Apabila menggunakan bus
biasa tanpa AC, harganya Rp. 3 ribu.
Karena lokasinya yang mudah dijangkau,
lokasi ini menjadi favorit dan tidak pernah sepi oleh penggiat panjat tebing.
Tak hanya dari Bandung atau Jawa barat, terkadang juga terdapat beberapa
pemanjat dari luar daerah. Malam itu kami sampai sekitar pukul 9 malam, setelah
sempat diguyur hujan deras yang memaksa kami harus berteduh di Cimahi. Disana
terdapat dua saung yang cukup besar yang biasa ditempati para pemanjat melewati
malam. Tidak banyak yang berubah dari kawasan ini, hanya saja jalan masuk ke
lokasi tebing yang sudah digeser dan terdapat beberapa cerita mengenai konflik
yang sedang terjadi antara para pecinta alam dan warga sekitar.
Pabrik Marmer |
Kawasan karst
di Citatah sudah menjadi kawasan pengeboman sebagai bahan baku dari pabrik
pembuatan marmer yang sangat besar. Kegiatan yang sudah berlangsung sekian lama
ini membuat gunung karst di Citatah menjadi menipis setiap tahunnya. Dentuman
bom kerap kami dengar berkali-kali, dan tibalah saat ini, saat tebing 125 juga
akan dihancurkan. Hal ini tentu saja menjadi konflik yang alot antara para
pecinta alam dan warga yang mencari nafkah di pabrik. Sebuah spanduk yang
menolak penghancuran tebing dibentangkan, tertera nama kelompok pecinta alam
yang menolaknya. Sesuatu hal yang ironis, sebab seharusnya alam tidak untuk
diperebutkan. Alam haruslah menjadi penengah dan kebahagiaan bagi setiap
manusia. Sikap manusia yang serakah dan egoislah yang kerap menjadikan alam
sebagai ajang konflik tak berkesudahan.
Malam itu terasa sangat istimewa untukku. Sudah sangat lama
sejak terakhir kali saya bermain ke tebing, mungkin ada sekitar 5 tahun yang
lalu. Terdapat sebuah pabrik marmer dengan bongkahan marmer yang berserakan di
halaman pabrik tepat dibawah saung yang kami tempati menjadikannya sebagai
sumber penerangan tambahan selain lilin dan sinar bulan. Suara jangkrik
menemani kami sepanjang malam dan suara tawa dari permainan poker malam ini
seakan membawaku kembali ke masa lalu. Masa dimana saya belajar mengenal alam,
masa dimana saya mengerti alam, dan masa dimana saya terhanyut akan keindahan
alam liar. Memang, ini hanya di Citatah, yang masih sangat dekat dengan kota,
namun sudah cukup menghibur kerinduan ini.
Bermain Poker |
Materi pengenalan self rescue merupakan inti dari kegiatan kami kali ini. Self rescue merupakan materi untuk divisi peminatan Rock Climbing yang diikuti oleh Amin sebagai peserta, Babi sebagai instruktur, Arnan sebagai korban, dan saya sebenarnya cuma ingin jalan-jalan namun terjebak harus ikut membantu instruktur untuk materi. Ketika
berjalan mendekati lokasi tebing panjat, saya melihat sudah sangat banyak
pemanjat yang memasang jalur. Ada yang
dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) hingga Universitas Tarumanegara (UnTar),
Jakarta.
Sebuah jalur artifisial sedang dibuat oleh seorang pemanjat
wanita disebelah lokasi tempat kami memasang instalasi materi self rescue. Jalur ini sebenarnya adalah jalur yang umum digunakan dan merupakan jalur yang cukup mudah untuk pemula. Pemanjat ini menjadi menarik perhatian kami sebab selain karena jalur yang memang berseberangan langsung dengan lokasi kami, beberapa kali terdengar
teriakan panduan dari rekan-rekannya di bawah dan juga dari puncak jalur pemanjatan.
“Sling nya habis, tinggal satu” teriak si
pemanjat wanita yang saat itu posisinya berada sekitar satu meter diatas sling
runner terahir dan sekitar dua meter dibawah puncak jalur. Sebagai seorang
pemanjat tebing, apa yang anda lakukan apabila pengaman anda habis beberapa
meter di bawah puncak jalur? Sebagai seseorang yang sudah cukup lama (ehem..) menjadi penggiat di alam terbuka saya cuma akan memberikan tiga kata: "safety procedure first". Pikirkanlah apa yang menjadi safety procedure yang sudah kalian pelajari, itu yang harus dilakukan.
Suasana tebing 125 |
Tiba-tiba terlihat seseorang dari puncak
jalur yang merupakan teman pemanjat menurunkan sebuah webbing kearah pemanjat.
Webbing tersebut diraih oleh kedua tangan pemanjat wanita tersebut. Pemandangan yang
cukup aneh, itu yang saya rasakan. Saya kemudian memutuskan untuk turun dari lokasi
instalasi materi dan memastikan jalur tali aman dari bawah. Saat sedang
berbincang dengan teman setim pemanjat, terdengar kepanikan dan seketika saat
saya melihat kearah pemanjat, kepalanya sudah berada dibawah, satu meter
dibawah sling runner terakhir. Pemanjat tersebut terjatuh, kepalanya membentur
batu, namun dia masih sadar. Terlihat dia masih dapat menggerakkan leher dan
matanya masih terbuka. Dia terjatuh sekitar 3 meter dari lokasi terakhir.
Pemandangan ini terlihat sangat ironi. Masih teringat saat pemanjat ini meminta
turun karena dia sudah kelelahan dan kehabisan sling pengaman namun tidak diindahkan oleh teman-temannya
yang kerap menyemangatinya untuk menggapai puncak yang sebentar lagi dapat dia
raih.
Pemanjat wanita itu berhasil di-rescue dengan selamat dan untungnya keadannya tidaklah parah. Disini saya tidak akan membahas bagaimana mereka me-rescue atau perbedaan apa yang cukup crucial dari teknik back-up belay ataupun teknik memanjat mereka. Saya hanya ingin berbagi kisah bahwa kecelakaan saat bermain di alam
adalah hal yang pasti dapat terjadi dan harus dapat diantisipasi dengan sigap dan benar. Namun
menghindari kecelakaan adalah hal yang lebih penting. Ini yang kadang diabaikan
oleh para penggiat olahraga alam terbuka. Mereka mementingkan skill, gaya dan
fun namun safety procedure kerap terabaikan.
Beruntung saya besar dan belajar
mengenal alam bersama Astacala, yang sangat mengedepankan safety procedure.
Sebuah kegiatan tidak boleh dijalankan apabila safety procedure belum komplit.
Persiapan yang matang dan cenderung lama karena harus memastikan semuanya aman
itu lebih baik daripada bergerak cepat namun kemudian harus di-rescue. Yah kami
masih menganut nasehat orang tua jaman dulu, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian,
perisapan boleh lama agar kemudian senang sampai akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar