Tampilkan postingan dengan label Kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kehidupan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Agustus 2012

Manusia Baru

Apakah pagi esok akan menyapa kita yang terbangun di atas tempat tidur sebagai manusia yang baru atau kita tetap memilih untuk menjadi manusia lama yang menyapa hari yang baru?

Seperti biasa, dihari Minggu pagi tadi saya menyempatkan waktu untuk ke Gereja. Namun tidak seperti biasanya, pagi tadi saya mendengar firman Tuhan dengan seksama. Hari ini Tuhan berbicara kepadaku melalui Surat Rasul Paulus kepada umat di Efesus 4: 17,20-24. Disana dijelaskan bahwa setiap manusia tentunya terhubung dengan kehidupannya yang dahulu, dimana dia mungkin mengenal Allah namun hidup seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah. Orang-orang itu harus menaggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya karena nafsunya yang menyesatkan supaya ia dibaharui dalam roh dan pikiran dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Pernahkah anda seperti ini: Sudah tau salah, sudah tau dosa, tapi tetap dilakukan, namun kemudian bertobat, lalu berbuat dosa lagi kemudian bertobat lagi, begitu seterusnya. Dengan demikian kita hanya akan menjadi manusia lama sepanjang hidup ini. Pikirkanlah bahwa tidak akan ada lagi hari esok yang cukup untuk membuat anda bertobat. Pikirkanlah bahwa anda hanya akan hidup hanya untuk hari ini saja, dan apabila esok hari anda masih bisa membuka mata, itu adalah bonus yang harus anda gunakan untuk menjadi manusia baru di hari yang baru. Tanggalkan manusia lama dan jadilah manusia baru.


Minggu, 18 Desember 2011

Pungli? Bukan…sumbangan kok

Pungutan liar atau yang beken dengan sebutan pungli sudah sangat umum kita jumpai di negara kita ini, Indonesia tercinta. Mulai dari pungli yang berasal dari aparat dan pejabat negara hingga para preman yang meminta “jatah” kepada para pedagang/orang yang mencari rejeki di “wilayah” mereka. Namun kali ini saya akan menyorot suatu aktivitas yang seakan seperti pungli, namun memiliki nama “sumbangan” sebab bukan suatu paksaan atau kewajiban.

“Maaf mbak, apakah mau memberikan sumbangan Rp 1000, per kupon ke P*I?”, sahut lembut seorang kasir bioskop saat saya ingin membayar tiket nonton theater saat itu. Ketika saya mengambil dompet dan tangan kasir sudah hampir merobek kupon tanda pembayaran sumbangan, seketika teman saya melarang saya untuk membayarnya. Dengan ketus dia mengatakan bahwa lembaga tersebut sudah memiliki anggaran dana yang sangat besar dari pemerintah dan tidak setuju bila masih saja meminta sumbangan seperti itu. Ternyata di seluruh bioskop dengan label yang sama menerapkan hal yang serupa, meminta sumbangan saat tiket akan dibayar. Sedikit setuju dengan argumen teman saya dan terlepas dari kenyataan pelit atau memang “kere” saya selalu menolak untuk menyumbang dan terkadang sedikit bercanda dengan mengatakan, “Saya sudah sering donor d*r*h kok mbak.” Mbak-nya lantas tersenyum sinis (eh manis deh), mungkin dia mengira saya berbohong, namun saya memang rutin melakukannya, setiap 3 bulan sekali bila tidak lupa dan memenuhi syarat tentu saja.

Demikian kejadian tersebut terus berlansung namun buat saya itu sama sekali tidak mengganggu dan dapat  diterima. Hingga pada suatu ketika belum lama ini, sayapun mulai terganggu. Saat ingin membayar tiket, mbak kasir yang selalu ramah itu mengatakan, “Dua tiket, Rp 42 ribu mbak..(@Rp 20 ribu)”, sambil menyiapkan 2 tiket theater dengan potongan kupon sumbangan P*I yang sudah disobek 2 lembar. Dengan lugu dan polos saya bertanya apakah sumbangan ini sudah menjadi kewajiban bila ingin nonton theater? Ternyata tidak, sehingga saya (lagi-lagi) menolak membayar sumbangan tersebut. Kejadian ini sontak membuat saya sedikit dongkol karena tindakan (baca: taktik baru) meminta subangan tersebut seperti memaksa dan memanfaatkan kebiasaan refleks otak manusia.

Untuk berargumen sepertini ini, sama sekali tidak diperlukan penjelasan ilmiah yang rumit namun cukup dengan mencoba mengingat-ngingat kebiasaan otak kita sehari hari. Saat kita disodori pertanyaan, otak kita akan memproses pertanyaan itu terlebih dahulu. Sehingga pada saat kasir bertanya, “Apakah anda mau menyumbang Rp 1000?” otak akan memproses pertanyaan "mau atau tidak?" dan seketika berbagai kemungkinan dan perhitungan muncul dalam otak kita sehingga dalam waktu sepersekian detik kita bisa memilih untuk menjawab “Tidak” kepada kasir yang ramah itu. Berbeda halnya bila kita disodori sebuah kalimat hasil seperti, “Semuanya Rp 42 ribu mbak”. Yang diproses dari otak kita adalah Rp 42 ribu sehingga, dalam waktu sepersekian detik juga, otak akan memproses perintah agar tangan kita segera mengeluarkan uang dan membayar nominal tersebut.

Untuk orang-orang kritis, pas-pasan bawa duit, perhitungan dan pelit, hal ini mungkin menjadi obstacle (penghalang) sehingga akan di-counter dengan bertanya balik seperti yang saya lakukan. Namun, sebagian besar orang tidak mempermasalahkan hal tersebut karena dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan faktor eksternal. Bisa saja karena malu sama pacar, tidak mau dianggap pelit/perhitungan oleh teman-teman, tidak mau repot berpikir, ingin cepat, atau karena baru sadar saat sudah menyerahkan uang.

Dari sepenggal kejadian ini mungkin kita akan berfikir bahwa, bila kita membeli satu tiket akan ditawarkan (baca: diminta) menyumbang satu kupon. Bila anda berfikir seperti ini, ternyata tidak demikian. Jumlah kupon yang diminta untuk dibayar sangat bergantung pada kasir ramah yang melayani anda. Sebab pada suatu ketika, saat ingin membayar 27 tiket, mbak kasir yang ramah hanya menambahkan 5 kupon sumbangan dalam nominal pembayaran akhir. Kali ini saya mengalah dan membayar sumbangan tersebut.

Hingga kini saya belum pernah melihat laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban penggunaan uang sumbangan dari masyarakat ini. Paling tidak disetiap titik penyebaran kupon sumbangan dipajang laporan sementara jumlah dana terkumpul dan penggunaannya itu sudah “lari” kemana? Semua bentuk sumbangan diarahkan untuk membantu yang berkekurangan pasti di-amin-kan dan didukung penuh oleh masyarakat. Namun tentu saja diperlukan laporan penggunaan dana yang transparan oleh lembaga yang bersangkutan. Masyarakan tidak perlu bertanya-tanya lagi dananya sudah dipakai kemana, dan dapat menghilangkan pikiran negatif bila dana di-serong-kan ke kantong yang tidak seharusnya.

Hati nurani, pintu pertanggungjawaban terakhir

Transparansi itu perlu untuk sesuatu yang sangat sensitive seperti uang. Jangankan Rp 1000,- , uang Rp 100,- saja bila ada 100 juta orang yang menyumbangkan uang kembalian mereka sesudah berbelanja bisa terkumpul Rp 1 miliyar. Salah satu lembaga kemanusiaan internasional juga mengumpulkan sumbangan di tempat umum bekerja sama dengan kasir. Sepengetahuan saya, program ini sudah cukup lama mereka jalankan sebelum lembaga P*I mengikuti ide tersebut walaupun dengan cara yang lebih primitif (memakai kupon). Lembaga ini berusaha bertindak professional, bijak dan cukup transparan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan kasir-kasir pusat perbelanjaan yang bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan ini. Sebelum memberi tahu nominal pembayaran akhir kepada pelanggan, mereka akan selalu bertanya terlebih dahulu, apakah uang receh kembalian mereka ingin disumbangkan. Mereka baru akan memproses sumbangan yang nominalnya akan tertera pada struk belanja bila pelanggan menyetujui. Bila ternyata kembalian pelanggan tidak ada yang receh, mereka tidak akan meminta sumbangan. Jumlah pengumpulan dana sementara dipajang disetiap titik kasir yang bersangkutan sehingga setiap konsumen yang memberikan kembalian mereka mengetahui bahwa sedikit receh yang tidak begitu berarti bagi mereka bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Memang, hal ini tidak serta merta membuktikan bahwa dana tersebut benar-benar disalurkan seutuhnya kepada mereka yang disebutkan. Sebagian orang berargumen bahwa sebagian besar dana sumbangan tersebut digunakan untuk membayar gaji para pegawai lembaga kemanusiaan tersebut lengkap dengan fasilitas yang super mewah. Mengerutkan dahi, itu yang spontan saya lakukan. “Tega benar mereka”, pikirku. Namun saya cukup pada titik tindakan profesional mereka yang sudah mau berbagi informasi penggunaan dana tersebut. Satu nilai tambah untuk mereka, masalah kemana dan apakah tepat sasaran dana yang disalurkan itu akan menjadi pertanggungjawaban dengan hati nurani mereka sendiri sebagai pintu terakhir.

Sabtu, 10 September 2011

Ketika tanya itu datang

Ingatkah kau saat dimana kita masih bertukar sapa?
Sapaan hangat saat akan memulai hari dan ditutup dengan ucapan selamat tidur yang mesra..

Ingatkah kau saat kutatap dalam matamu?
Dengan menyiratkan suatu pesan yang dalam bahwa aku peduli, dan kau balas senyum kepadaku..

Ingatkah kau saat sepi menghampiri?
Bayang wajah dan kehangatanmu menggiringku tuk ingin bercerita kepamu, bertukar kisah setiap hari..

Ingatkah kau saat sedih menghampiri?
Dimana kau hibur aku dan mengingatkanku tuk terus tersenyum dan bersyukur..

Kemana kau kini?
Tak dapat kutemukan dan kutemui lagi..pada pagi maupun malam
Hilang tanpa sebuah kabar atau ucapan perpisahan..

Tak mengapa..
Sebab kuyakin semua ini ada makna dan alasannya

Sedih dan kecewa tersisa kini bersamaku,
Telah kurelakan bersama semua cerita dan waktu yang terlewati
Pergilah dan tersenyumlah untukku dimanapun kau berada..

Pesan dari penulis

Masih belum ada sebuah kisah perjalanan baru..Mohon maaf, namun mungkin saya akan coba menuliskan kisah perjalanan yang belum sempat saya posting..

Beberapa bulan yang lalu, ada satu perjalanan yang cukup menarik ke pulau Samalona, Makassar. Sebuah perjalanan pendek, tapi sangat seru dan menyenangkan. Namun sebelum itu saya ingin sedikit menuliskan sebuah sajak yang sedikit melankolis. Saya sudah lama sekali tidak menuliskan sajak, dan ini adalah kali pertama untuk saya menuliskannya lagi..

Krtik tentu saja diperkenankan :)

BR

Selasa, 30 Agustus 2011

Bungkusan untuk Berbuka

Mata seorang anak kecil terus tertuju pada sebuah bungkusan yang tidak sengaja terjatuh di tengah jalan. Sebuah kue bolu tergelinding keluar dari bungkusan tersebut. Anak lelaki itu hanya terdiam membisu saat motor yang dikendarai ayahnya perlahan berhenti ke tepi jalan. Tatapan kesedihan anak lelaki itu tertransformasi sempurna ke wajah sang ayah. Bungkusan untuk mereka berbuka puasa di rumah, jatuh berserakan.

Senin 29 Agustus, pukul 4 sore kejadian tersebut sontak membuat laju motor yang kukendarai melambat sejenak. Melihat kearah bungkusan yang terjatuh dan tatapan anak dan ayah tersebut seketika membuatku jatuh dalam kesedihan yang serupa. Makanan itu sudah berserakan di jalan, dan sang ayah masih berusaha untuk menyelamatkan menu berbuka hari itu. 

Pikiranku mendadak tidak karuan memikirkan bungkusan berbuka puasa anak lelaki yang mungkin saat itu masih belajar menjalankan puasa penuh. Apa jadinya bila mereka tidak punya uang lagi untuk membeli menu berbuka yang baru? atau apakah mereka hanya dapat membeli menu yang tidak terlalu istimewa untuk mengganti bungkusan itu?

Peristiwa ini membawa pikiranku melayang jauh membuat konsentrasiku menjadi kosong. Rasa kasihan yang saya rasakan sama sekali tidak memberikan solusi untuk anak dan ayah yang malang itu. Rasa kasihan hanya membuatku salah jalan karena konsentrasiku terinterupsi olehnya. 

Sebagian besar masyarakat Indonesia akan bersikap sama dengan apa yang kulakukan tadi, apatis. Hal itu karena kita semua telah hidup sekian lama di kota besar. Sifat pasif dan malas terlibat seakan menyelubungi seluruh badan membuat kita hanya dapat bergumam tanpa aksi yang nyata.

Peristiwa tadi mungkin kecil dan tidak lebih dari 10 detik namun memiliki makna yang sangat besar, sehingga membuatku ingin berbagi kisah ini. Semoga setelah membaca ini, tidak ada lagi Onnie Onnie lain dengan sikap apatis layaknya sore tadi.

Rabu, 24 Agustus 2011

Pelajaran sebuah senyum

Pikiran melayang dan menapaki suatu stadium dimana pikiran liar menari-nari memenuhi neuron-neouron otak dan membuatnya berdansa. Suatu masa yang mana setiap manusia di bumi ini sering melakukannya. Berkhayal dan bermimpi adalah pra-langkah kita dalam mencapai tujuan yang besar.

Mimpi adalah kunci untuk membuka pintu masa depan. Dari sebuah mimpi, anak seorang petani dapat bersekolah hingga ke Jepang dan menjadi peneliti hebat. Orang-orang yang berani bermimpi adalah orang dengan satu langkah lebih awal menuju sukses.

Mungkin pada suatu ketika saya ingin bertanya kepada seorang pengemis dijalan, seorang tuna wisma, ataupun seorang penjual jamu gendong. Apakah mimpi dari mereka?

Seorang ibu dengan jamu gendong bawaannya terlihat keluar dari sebuah gang sempit. Masih jam 3 sore hari, sekitar 3 jam menjelang buka puasa. Ibu itu tersenyum padaku sembari dia berjalan untuk memulai menjajakan jamu jualanannya. Ah, siapakah yang akan meminum jamu di jaman yang modern ini? Masih 3 jam menjelang buka puasa, apakah ibu ini hanya mengisi waktu saja berjalan selama 3 jam sebelum orang berbuka? Negara ini, atau lebih tepatnya, kota ini memang bhineka tunggal ika, tidak semua beragama muslim dan berpuasa. Namun, pikiran ini tak henti ingin bertanya, kemana gerangan ibu ini berjualan?

Sebuah senyum yang dia sampaikan sesat ketika menatap saya seakan ingin mengucapkan sebua mimpi yang ia miliki. Entah apapun mimpi dari ibu penjual jamu gendong, senyum yang ia ciptakan sebelum berangkat bekerja adalah awal yang baik untuk memenuhi mimpinya.

Terima kasih atas pelajaran hari ini, sebuah senyum sebelum beraktifitas dalam menggapai mimpi.

Selasa, 15 Maret 2011

Siapa sahabat Jakarta?

Apa yang ada dalam pikiran Anda saat mendeskripsikan Jakarta, Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dalam satu kata?

Tidak bisa dipungkiri bahwa selain sebagai ibu kota Negara, Jakarta merupakan pusat bisnis dan perkembangan ekonomi di Indonesia. Itulah mengapa masyarakat Indonesia dari seluruh penjuru tanah air berbondong-bondong datang ke Jakarta. Mencari kerja, melihat peluang bisnis dan kemudian menetap di sana. Orang-orang yang mencari peruntungan di Jakarta sangat beragam dari strata sosial yang majemuk. Yang miskin dan yang kaya sama-sama menjadikan Jakarta sebagai kota yang dapat menyediakan harapan untuk masa depan mereka.

Tak heran, kota dengan jumlah penduduk mencapai 8 juta jiwa ini pun menjadi penuh sesak dengan berbagai macam suku, gedung tinggi hingga perkampungan kumuh, mobil, motor, maupun truk. Macet pun menjadi makanan sehari-hari masyarakat yang bekerja di Jakarta. Bekerja di Jakarta belum tentu tinggal di Jakarta. Itulah sebabnya jumlah masyarakat Jakarta di siang hari lebih banyak daripada malam hari. Penambahan tersebut berasal dari masyarakat yang tinggal di Depok, Bekasi maupun Tangerang namun bekerja di Jakarta pada siang hari.

Selain melatih tingkat kesabaran, macet di Jakarta juga bisa membuat urat syaraf menjadi tegang. Bagaimana tidak, dikala waktu sangat berharga, macet menjadi kendala. Sesama pengguna jalan dapat saling perang urat syaraf karena sama-sama mengejar waktu di tengah kemacetan. Omelan, makian hingga serempet dan tabrakan yang menyebabkan kematian adalah hal yang mendampingi dampak kemacetan tersebut.

TransJakarta untuk Menghindari Macet, katanya.

TransJakarta atau yang umum disebut Busway menjadi solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Jakarta. Dengan adanya Bus TransJakarta, diharapkan pemakaian kendaraan pribadi dikurangi. Masyarakat menyimpan mobilnya di rumah dan menggunakan bus yang berbahan bakar gas ini ke kantor. Selain murah, hanya Rp. 3500,- untuk seluruh rute, Bus Trans Jakarta juga full AC. Murah, nyaman dan bebas macet adalah tawaran solusi yang sangat menggiurkan. Tawaran ini seakan memberikan angin surga untuk pemberantasan macet di Jakarta.

Adalah tahun 2004, pertama kali busway di operasikan di Jakarta. Sistem transportasi ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio di Bogota, Kolombia. Meskipun begitu TransJakarta memiliki jalur terpanjang dan terbanyak di dunia. Sudah 10 buah koridor resmi dibuka sejak 6 tahun lalu. Dua buah koridor baru, 9 dan 10, menjadi pemain baru di tahun baru 2011. Namun semua ini masih belum dapat mengatasi kemacetan di Jakarta.

Macet di jalan atau di antrian?

Bila menggunakan jalur biasa, mobil atau motor akan terkena macet di jalan, tetapi bila menggunakan busway akan terkena macet sebelum naik bus dan macet saat di dalam bus. Tidak tanggung-tanggung keduanya memiliki lama waktu macet yang fantastis, bisa berjam-jam. Antrian panjang dan lama ada di halte transit bus seperti di harmoni, dukuh atas dll. Sedangkan pada halte-halte lain, meskipun antrian tidak panjang namun saat bus datang penumpang tidak dapat naik karena bus sudah sangat penuh. Bahkan pintu bus sulit dibuka ataupun ditutup. Lantas kemana angin surga yang dulu ditawarkan itu? Dengan bus yang sangat penuh seperti itu, unsur kenyamanan sudah hilang. Untuk bernafas, berdiri dan berpengangan saja sudah sulit. Bagaimana dengan standar keamanan sebuah bus? Berapa jumlah maksimum angkutan sebuah bus TransJakarta? Entahlah, Pemerintah kota seakan mengabaikan hal-hal penting seperti sebuah hal kecil.

Mampang
Beberapa waktu lalu, seorang anak kelas 4 SD tertabrak oleh bus Trans Jakarta di jalur busway daerah Mampang. Kejadian ini menambah serangkaian duka yang menyelimuti alat transportasi ini. Mampang adalah salah satu kawasan di Jakarta Selatan yang sangat macet. Terdiri dari dua ruas jalan untuk dua arah dan dilengkapi oleh jalur bus way di tengah. Banyaknya kendaraan pribadi maupun umum yang melewati jalan ini membuatnya selalu macet sepanjang hari. Lantas, mengapa seorang anak kecil dapat menyeberang jalan di lintasan busway?

Solusi-solusi Mandek
Jumlah mobil dan motor selalu bertambah, tidak sejalan dengan konsep busway untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Jumlah armada busway juga tidak berbanding lurus dengan jumlah pengguna yang kian hari kian bertambah. Lantas solusi apakah yang harus dimiliki Jakarta untuk memberantas macet?

Batasi pengeluaran mobil baru, menaikkan pajak mobil, atau pelarangan menggunakan bbm bersubsidi adalah solusi-solusi yang muncul ke permukaan. Namun apakah solusi ini didukung oleh sistem dan pelaku yang taat? Sebab seberapa pun banyaknya solusi itu tidak pernah bisa mengatasi macet di Jakarta. Lihat saja tiang-tiang mono rel yang dulu dibangun oleh Sutiyoso sewaktu masih menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Proyek yang juga dijadikan alasan untuk memberantas macet di Jakarta itu hingga kini hanya dibiarkan menjadi pajangan ditengah jalan. Terbengkalai tidak terurus, dan hanya menjadi perusak estetika jalan raya. Tanya kenapa?

Senin, 14 Februari 2011

Sebuah kisah klasik untuk menjawab pertanyaan klise

Terkadang saya tidak mengerti dengan apa yang sudah saya lakukan. Pernah suatu ketika saya menyadari sedang berada ditengah hutan. Inilah kali pertama saya memasuki hutan, bulan Januari 2004.

Badan basah karena hujan, pundak letih karena mengangkat perbekalan di dalam carrier, dan kaki melepuh karena diharuskan menggunakan sepatu PDL tentara. Inilah hari pertama pendidikan dasar Astacala, Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) STT Telkom, Bandung. Setelah sebulan yang sebelumnya saya telah menyelesaikan serangkaian teori kelas tentang ilmu dasar kepecinta alaman. Hari itu, setelah berjalan kaki sejauh kurang lebih 7 kilometer saya dihadapkan pada situasi yang tidak saya mengerti. "Kenapa saya ada disini?" "Apa yang kulakukan disini?"."Buat apa saya tidur di tengah hutan, diselimuti dingin, kotor, dan kelelahan?" "Apakah saya harus melanjutkan pendidikan ini?lebih enak saya tidur di kamar dengan belaian lembut bantal dan selimut." Begitu kira-kira kata hati saya yang terus menerus menghantui sepanjang malam. Malam pertama ditengah hutan.

Keinginan saya untuk ikut serta dalam seleksi penerimaan anggota baru mahasiswa pecinta alam sudah menjadi tekad saya sejak duduk dibangku SMA. Namun saat dihadapkan pada situasi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, hati ini mulai ragu. Inilah yang kerap terjadi saat kita menjalani hidup. Kebulatan tekad pun dapat goyah apabila kita dihadapkan pada situasi yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Pikiran-pikiran negatif muncul tanpa henti dan membuat semangat yang tadinya menggebu-gebu menjadi redup atau bahkan hilang.

Beruntung saat itu saya memiliki teman yang mengingatkan saya. "Kalau harus ada yang mundur dari kelompok kita, saya pikir itu bukan kamu", kata Surotong dan Tukul, teman kelompokku saat kuceritakan ingin mengundurkan diri. Kata-kata itu seakan membangunkanku untuk segera keluar dari khayalan zona nyaman yang kuinginkan. Bila orang lain saja bisa percaya saya mampu, lantas apa alasan saya untuk tidak mampu? Sejak saat itu, pikiran untuk mengundurkan diri langsung lenyap tanpa pernah menghampiriku lagi.

Karena tak ada satupun dari kami yang mengetahui kapan kegiatan ini akan berakhir, 5 orang sempat memutuskan mengundurkan diri, 30 menit sebelum acara pelantikan dimulai. Kala itu semua peserta sudah berada pada titik batas kemampuan, wajar apabila mental menjadi drop. Beruntung saat itu panitia masih berbelas kasih agar mereka mau memikirkan lagi keputusan mereka. Akhirnya kami ber-19 berhasil menyelesaikan pendidikan dasar Astacala ke-12 selama 10 hari ditengah kawasan hutan Ciwidey, Jawa Barat.

Tampang kumal, badan yang penuh luka karena duri, kaki yang gemetar seakan hampir tak mampu lagi menahan beban tubuh dan bau lumpur dan becek tak bisa menghalangi tangan kami yang berebut bubur kacang ijo yang telah disediakan oleh panitia. Tak peduli lagi seberapa kotor tangan ini, seberapa bersih air itu, kebersamaan ini adalah awal dimana saya mulai mengenal bagaimana kerasnya alam mendidik kami. Saya yang mengantongi nomor anggota AM-002-KF saat upacara penutupan di Rancaupas, Ciwidey, Jawa Barat, menggantinya menjadi A-063-KF, dua tahun kemudian. Sebuah perjalanan yang tidak singkat, namun juga tidak panjang tetapi memberikan makna yang sangat besar dalam kehidupan yang tersisa ini.

Saat ini, kembali saya dihadapkan pada pertanyaan klise tersebut. "Kenapa saya berada disini?" "Apa yang kulakukan disini?". Ah, seakan tak henti-hentinya pertanyaan itu muncul, lantas saya teringat kejadian diatas dan mencoba mengambil pembelajaran dari semua makna yang ada. Senyum simpul ini pun muncul menghiasi wajahku sesaat sebelum tulisan ini kuakhiri.

Salam lestari
A-063-KF

Minggu, 13 Februari 2011

What God Promise Us

God didn’t promise day without pain
God didn’t promise laugh without sorrow
God didn’t promise sun without rain
But he did promise strength for the day
But he did promise comfort for the tears and light for the way

-by unknown-