Kamis, 24 September 2009

Ujung Kulon National Park

"Manusia hanya dapat merencanakan."
Sebelumnya saya selalu melakukan perjalanan dengan sangat terencana, kisah ini adalah perjalanan yang tidak kami rencanakan, dadakan dan terkesan sedikit maksa, namun perjalanan ini sangat penuh dengan warna warni kehidupan. Banyak kejadian tidak terduga dan sangat diluar rencana, membuat hati kesal dan gulana. Namun ke elokan Ujung Kulon tidak terlukiskan dengan kata-kata, dengan keindahan alam yang masih perawan membuat petualangan ini sangat pantas kami lalui. Keindahan alam Indonesia sungguh tiada habisnya. So check this out !

Sabtu, 19 September 2009
Tri masketir

Itulah kami, yang tetap pede dengan perjalanan ini. Tepat pukul 00.00 saya, Palti dan Yani aka Kobba bergerak menuju terminal bus Kalideres. Menurut informasi yang saya dapatkan, bus Kalideres-Labuan berangkat pukul 02.00. Setiba di terminal kami sempat syock saat orang-orang disana mengatakan bus ke Labuan berangkat pukul 04.00, yang benar saja..ini saja baru jam 00.30. Untungnya kami aktif bertanya kembali dan seseorang mengatakan bahwa ada satu bus yang sudah mau berangkat. Senangnyaa....kami langsung bergegas ke sana dan naik ke bus yang dimaksud. Ternyata bus tersebut masih ngetem, tidak seperti mau berangkat. Kami pun memutuskan untuk duduk di bus sambil menunggu keberangkatan.

Halusinasi
Saat itu bus sangat panas, dikarenakan bus tersebut adalah bus AC, maka tidak terdapat jendela di dalam bus. Orang-orang pada bertahan di dalam bus, mungkin karena motto saat masih sekolah ”Posisi menentukan prestasi” berlaku juga di dalam bus, termasuk kami. Sudah sekitar satu jam lebih menunggu, belum ada tanda tanda bus akan berangkat, baju sudah basah dengan keringat, membuat pikiran ini terasa kacau. Tiba tiba, dari sela kursi saya melihat cewek yang duduk di depanku hanya memakai bra warna hitam. Mungkin sangking panasnya, si cewek tidak tahan dan membuka bajunya. Oh..sungguh panas yang edan. Serta merta saya memberitahukan Palti dan Kobba mengenai hal ajaib ini. Palti dengan sigap langsung ingin membuktikan perkataanku dan berdiri dari kursinya. Lantas ia berkata
”Lengkap kok bajunya”
”Haaaa?” tidak percaya, saya pun berdiri untuk memastikan, dan benar, bajunya lengkap. Halusinasi yang bodoh.

Ahirnya pukul 03.00 bus ini bergerak menuju Labuan. Ongkos dari Kalideres-Labuan dengan bus AC saat musim lebaran Rp 50.000. Pukul 06.00 kami sampai juga di Labuan. Setelah menunggu 2,5 jam akhirnya kami berangkat. Tau-tau baru jalan berapa meter elf kembali berhenti dan seseorang yang gondrong dengan gigi yang cukup mengerikan datang berkoar koar meminta ongkos kepada kami. Dengan seenaknya dia meminta ongkos satu orang ke Taman jaya sebesar Rp 100.000. gila aja tuh orang, tarif normal sebelum lebaran adalah Rp 25.000, benar-benar gila. Setelah perdebatan yang cukup alot, dan sempat mengancam menurunkan barang, akirnya kami damai dengan harga Rp 60.000. usai mengumpulkan uang, si calo membagi uang untuk dirinya dengan supir. Calo rakus yang mencari uang dengan cara pemerasan, sungguh miris melihat hal ini. Namun apa mau dikata, harusnya hal ini menjadi perhatian dari pemerintah daerah, untuk menertibkan pungutan liar yang sangat merugikan penumpang dan juga supir.

Desa Taman Jaya
Sebelum mencapai desa Taman Jaya, kami melewati desa Cibaliung, desa Sumur, dan banyak desa lain. Kami juga melihat penanda jalan menuju Pulau Umang. Pukul 14.00 kami sampai di penginapan Sunda Jaya, penginapan milik Pak Komar. Desa taman jaya sebenarnya sudah merupakan lokasi dari Ujung Kulon National park, namun untuk spot spot terbaik katanya ada di Pulau Peucang dan sekitarnya yang rencananya ingin kami jelajahi. Ongkos menyeberang sangat mahal 1,5 juta untuk satu perahu PP. Kami sangat berharap hari itu ada rombongan lain yang akan menyeberang ke Pulau Peucang, jadi kami bisa patungan menyebearang dengan harga yang lebih murah.

The poor "Mawar" or us
Saat itu pak Komar mengatakan ada satu rombongan yang memang akan menyeberang sore ini sebanyak 25 orang. Muatan kapal kata pak Komar sekitar 25 orang. Kami bertanya apakah kami dapat ikut menyeberang, namun pak Komar menyerahkan semua keputusan kepada pimpinan kelompok which is sebut saja "Mawar". Saya sangat optimis kami dapat menyeberang hari ini, sebab solidaritas pecinta traveling or backpacker itu sangatlah tinggi, kecil kemungkinan kami akan ditolak. Namun kenyataan berkata lain, "Mawar" yang datang ternyata jauh dari dugaan kami. Ia membawa satu rombongan keluarganya yang berjumlah 26 orang dengan barang bawaan yang sangat banyak. Namun banyak anggota yang terdiri dari anak kecil.
”Waduuh...masalahnya barang saya banyak banget”
Ternyata kami tidak diperbolehkan untuk ikut. Kekecewaan dan awan kelabu menghinggapi kami bertiga. Sepenggal percakapan yang terjadi :
”Mau berapa hari disana?”
”Satu hari pak”
”Waaahh..rugi kamu kalo cuman satu hari, saya 4 hari”
”kalau saya pergi kesini minimal 3 hari, kalo gk mending gk usah”
”Kalau kalian mau kesana, harus bawa barang seperti saya ini, yang banyak”
”Suka fotografi juga kan? Peralatannya aja sudah satu karung!!”
Sombong sekali orang ini, pikirku. Namun ada satu percakapan yang membuat kami semakin bertekat untuk tidak kalah semangat untuk ke Pulau Peucang,
"Kalau dibandingkan dengan Pulau Seribu, bagus mana pak?"
"Ah...Pulau seribu mah tidak ada apa-apanya, kalah jauuuuuhh"
Sahut pak Mawar dengan gaya nya yang khas. Seketika kami langsung membayangkan bagaimana indahnya Pulau Peucang. Pulau seribu saja tidak ada apa-apanya menurut Pak Mawar
Terakhir ia katakan
”Sori ya, bukannya gk mau kalian gabung”
”Dadah...”sambil melambaikan tangan serasa ia berkata
”Kasian deh lu gk bisa nyebrang” kalau ini sih jujur saya yang terlalu mendramatisir.
Dan mulailah sejak saat itu nama Mawar selalu kami perguncingkan. Entah apa salah si Mawar sampai kami selalu membuatnya menjadi objek pergunjingan kami. Yang pasti kami sadar dia tidak bersalah saat menolak kami ikut. Masalahnya hanya satu, ia bertemu kami yang sedang gundah gulana diwaktu dan tempat yang kurang tepat. Maka jadilah Mawar menjadi nama yang selalu kami bawa serta sepanjang hari bila rasa bosan datang.

Sore hari Pak komar memberikan berita surga, beliau mengatakan ada rombongan yang akan menuju ke Taman jaya berjumlah 4 orang, dan akan sampai besok pagi. Rombongan tersebut bahkan sudah menyetujui ingin bergabung dengan kami untuk menuju Pulau Peucang. Maka jadilah hari ini kami bergembira untuk menunggu esok hari yang kami nanti.

Minggu, 20 September 2009
Idul Fitri 1430H

Awan kelabu
Meskipun hari ini adalah hari kebesaran umat muslim, di desa ini terlihat biasa-biasa saja. Tidak heboh ataupun meriah. Keadaan semakin memprihatinkan, bosan menunggu dan team yang diharapkan tidak kunjung datang. Pukul 10.00 Pak Komar membawa kabar buruk bahwa team yang seharusnya berangkat tadi subuh membatalkan kepergiannya karena ada acara keluarga. Sungguh kabar duka buat kami. Team yang lain yang rencananya akan datang juga tidak kunjung datang, kabar terakhir, mereka stay di Ciputih, sekitar 1 jam sebelum Taman Jaya.

The show must go on
Perjuangan belum berakhir. Selain waktu yang sudah menipis, kami pun membulatkan tekat untuk tetap berangkat dengan menyewa kapal sendiri. Karena kami hendak nge-camp di daerah cibom, kami harus memakai jasa guide. Ini adalah standar keamanan yang diharuskan oleh setiap tamu. Kapal seharga 1,5 juta dengan jasa guide 200rb (2 hari) kami bagi tiga. Sedikit mahal, ah cukup mahal dan nekat, sebab kami tidak membawa uang sebanyak itu, kami mengutang pembayaran, kesepakanan dengan pak Komar, kami akan melunasi pembayaran di Labuan, setelah mengambil duit di ATM. Pak Komar yang mengerti keadaan kami setuju akan mengutus satu orang untuk menemani kami ke Labuan sebelum kami pulang untuk melakukan pembayaran. Maka jadilah jam 12.00 kami berangkat menuju P. Peucang

Pak Lebah, the incredible guide
Nama guide kami, sebut saja Pak Lebah. Umur pak Lebah sudah 60 tahun lebih. Perawakannya kurus, dengan mata yang sendu, bila bicara agak sedikit terbata-bata. Yang mengesankan, sampai membuat kami tidak dapat berkata-kata adalah saat kami bertanya,
”Bapak sering ya ngantar tamu ke Pulau Peucang?”
”Tidak, saya mah jarang, terakhir kesana tahun 70”
Galau, itulah yang saya rasakan saat itu. Saya tidak tega untuk menolak Pak Lebah dan meminta guide yang lain, beliau terlihat begitu kuyu dan lemah lembut, seorang bapak yang dapat saya liat berperawakan tenang. Kami mencoba mengambil nilai positif dari pak Lebah, mungkin dia masih ingat keadaan disana 39 tahun yang lalu, semoga tidak banyak perubahan, jadi beliau masih bisa kami harapkan.

Pak Lebah juga membawa peralatan masak seperti panci, dan peralatan makan, gelas, sendok dan piring. Air untuk masak kami bawa sebanyak 1 dirigen yang kami dapatkan dari kapal kami. Saat itu saya tidak membawa trangia ataupun bahan makanan yang menjadi ciri khas perjalanan saya bila hendak nge-camp. Tidak ada beras, tahu, tempe, telur, sayuran ataupun buah buah. Kami hanya membawa indomie 6 bungkus, 1 popmie, 4 bungkus biskuit dan minuman sachet. Benar-benar backpack yang gk niat. Soalnya saya sangat berharap di Pulau Peucang terdapat warung nasi, ataupun pemancing yang biasa menjual hasil tangkapannya, namun ternyata pulau ini masih sangat asri dan perawan, tidak ada penjual atau pun warung makan. Maka kami harus bertahan dengan logistik yang tidak seberapa ini. Cukup memprihatinkan, sebab inilah kali pertama saya melakukan perjalanan yang minim logistik. Namun tak mengapa, sebab kami semua bergembira.
Pulau Peucang, The paradise
Mata ini seakan tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Sebuah pulau yang memiliki pantai pasir putih yang sangat indah. Biru air lautnya sangat jernih. Sunggu indah dan membuat mata ini tak bosan-bosannya memandang.

Ini adalah pantai terindah yang pernah saya lihat. Amazing..keindahannya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Disamping itu, pasir putih P. Peucang sangat lembut seperti bedak tabur, sangat berbeda dengan pantai pasir putih yang lain. Kami sempat bertemu rusa, babi hutan dan monyet di Pulau ini. Mereka seperti ”Feel like home” meskipun terdapat manusia, seekor babi hutan mendekat dan berjalan-jalan layaknya hewan peliharaan.

Uang masuk pengunjung adalah sebesar Rp 2.500, asuransi jiwa Rp 3.000, biaya mendirikan tenda Rp 20.000 dan biaya parkir kapal Rp 100.000. Tidak cukup berlama-lama di sini, kami pun bergegas menuju Cibom untuk kemudian mendirikan tenda di Tanjung Layar. Tanjung layar adalah nama beken daerah tersebut, namun orang-orang desa menyebutnya ”Lentera”, sebab terdapat sebuah mercusuar peninggalan jaman Belanda. Saat itu kami ditemani oleh pak Rofik yang sebelumnya bertemu dengan Pak Lebah di P Peucang. Pak Rofik sebelumnya sudah dari Tanjung Layar dan baru kembali dari siarah di goa Sanghiang Sirah. Goa tempat prabu Siliwangi pernah bertapa. Pak Lebah memintaku untuk memperbolehkan Pak Rofik ikut, untuk membantunya selama diperjalanan.
”Ia mau ikut ke tanjung layar, boleh gk?” tanya pak Lebah
”Oh,,mau ke Tanjung layar juga?”
”Iya dia yang tau jalan, kemaren baru dari sana, nanti bantu-bantu saya” Pak Lebah menegaskan
”Oh, iya pak boleh pak”
Nampak Pak Lebah tidak begitu yakin dengan kemampuannya untuk mengantarkan kami sehingga ia meminta Pak Rofik ikut serta. Pak Rofik berperawakan terbalik 180 derajat dari Pak Lebah. Beliau sangat lincah, gemar bercerita dan kalau berbicara cukup ceplas ceplos. Pak Rofik malah terlihat layaknya guide kami, sedangkan Pak Lebah lebih cenderung diam dan memilih membantu kami mengangkat barang (tenda dan air) sepanjang perjalanan. Pukul 16.00 kami bergerak naik kapal menuju cibom. Sekitar satu jam kami sampai. Karena di cibom tidak ada dermaga, kami menuju daratan memakai perahu kecil.

Sebenarnya kami menyeberang kembali ke pulau jawa. Apabila punya cukup waktu, kita bisa melakukan perjalanan darat dari Taman jaya menuju tempat-tempat yang konon katanya untuk para pecinta alam patut untuk dikunjungi, Karang Ranjang, Cibandawoh, Cibunar, Sanhiang Sirah, Ciramea, Tanjung layar, Cibom, Cidaon, Tanjung layar, Citerjurn, Cigenter. Bila ingin mejelajahi semua itu, mungkin butuh waktu kurang lebih satu minggu. Bila beruntung kita bisa berkenalan dengan badak bercula satu, banteng dan berbagai fauna yang hidup bebas di TNUK ini. Berminat?

Tanjung Layar
Pukul 05.20 kami sampai di Tanjung layar. Melapor dilokasi penjagaan mercusuar, kami bertemu 3 pengelana lain, teman-teman pak Rofik, dan seorang penjaga mercusuar. Hidup sendiri, tanpa kawan, kebetulan saja hari itu ia ditemani oleh para pengelana, bila sedang tidak ada pengelana bapak penjaga hanya sendirian, ditemani sang mercusuar. Sekitar 1 bulan sekali ada pergantian shift untuk menjaga mercusuar ini.

Kami mendirikan tenda diatas tebing dan langsung menghadap pantai. Posisi yang sangat mantap untuk beristirahat. Malam itu dipenuhi banyak sekali bintang, namun tanpa ditemani sang rembulan yang menjadikan malam ini lebih sepi. Malam ini makan malam kami hanyalah 4 bungkus indomie dengan 2 potong buras yang kami bawa dari rumah Pak Komar. Sedih rasanya hanya makan indomie, namun mau bagaimana lagi, saya sama sekali tidak menyiapkan peralatan tempur seperti biasanya, namanya juga backpacker niat gk niat, hahaha. Setelah selesai makan bersama pak Lebah, kami mengantarkan beliau kembali ke rumah dinas di mercusuar. Pak Lebah tidak membawa perlengkapan camp, sehingga beliau memilih untuk tidur disana, ketimbang harus tidur beralaskan rumput disebelah tenda kami.

Tanjung Layar terletak di ujung Pulau jawa sebelah Barat Laut, disana terdapat sebuah mercusuar peninggalan Belanda yang masih berfungsi dengan baik. Sampai saat ini, jalan darat menuju Tanjung layar belum ada, kita bisa berjalan kaki dari Taman Jaya untuk mencapai Citerjun, Cidaon, Cibom, Tanjung Layar, Sahngiang Shira, dan masih sangat banyak tempat yang patut untuk dikunjungi di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini. Ahh..andai saat masih aktif kuliah saya mengetahui track ini, pastinya saya tidak harus melalui rute turis yang boleh dibilang cukup mahal ini. Daerah TNUK ini masih sangat perawan, bersih tanpa sampah yang menjadi ciri khas daerah wisata di Indonesia. Ingin rasanya TNUK ini dikelola dengan lebih baik dengan fasilitas yang lebih memadai, namun bila hal itu dilakukan, apakah ada jaminan keindahan alam yang masih alami dan perawan ini akan tetap terjaga? Disini akan sangat dibutuhkan sikap serius dari pemerintah untuk dapat menjaga kelestarian dan kekayaan alam Indonesia bila ingin pariwisata disini ingin lebih ditingkatkan. Mungkin memang lebih baik tetap membiarkan daerah ini sulit dijangkau manusia, agar kelestarian dan keperawanannya selalu abadi dan terjaga.

Freaky night
Sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba terlihat 2 bayangan dengan senter yang menerobos dibalik pohon dari arah belakang tenda menuju tebing. Terlihat dari nyala senter, kedua orang tersebut hendak menuruni tebing yang langsung menghadap pantai tersebut. Suasana terasa cukup menegangkan sebab lebay.com sedang beraksi. Dua orang tersebut cukup lama berada ditebing tersebut, kami dapat dengan jelas melihat nyala senter mereka, tadinya kami hendak menunggu mereka kembali dari sana, namun mata semakin ngantuk. Palti dan Kobba menyarankan agar tidur bergantian untuk berjaga-jaga, namun kupikir tidak seheboh itu, dan kusarankan agar kita semua dapat tidur, tidak usah ada yang berjaga-jaga.

Senin, 21 September 2009
Kami masih hidup tanpa kurang satu apapun dan dapat menikmati pagi hari yang cerah ini setelah segala kerisauan yang terjadi tadi malam. Terlihat pak Lebah dan pak Rofik sudah ada disamping tenda hendak memasak air panas. Kami bertiga berjalan-jalan sebentar dan melihat bangunan peninggalan sejarah disekitar Tanjung Layar. Puas menikmati indahnya Tanjung Layar dan mengambil beberapa gambar, saya meminta Palti menemani ke mercusuar untuk mencari toilet. Saat perut sudah kosong dan siap di isi, saya mencari cari 2 bungkus mie yang memang kami sisakan untuk sarapan pagi ini. Bolak balik saya mencari dari camp ke api unggun tempat pak Lebah masak, namun saya tidak menemukan sarapan kami. Pak Lebah pun datang menemuiku dan berkata
”Mie nya cuman 2, saya sudah makan dengan bapak itu”
”Tinggal aden bertiga, mana? Biar saya masak”
Sakit tertusuk pisau.
”Iya pak, mie nya tinggal itu yang terakhir”
Mungkin Pak Lebah tidak tahu kalau itu mie terakhir, setidaknya pak Lebah bisa berempati dengan keadaan kami yang tidak kebagian, namun kata Pak Lebah,
”Saya mah sudah makan..”
Kembali sakit tertusuk pedang.
”Oh iya pak”
Saya dan Palti tidak dapat berbuat banyak dengan kepolosan dari Pak Lebah kecuali meminta agar dimasakkan air panas untuk di seduh ke 1 bungkus Pop mie yang tersisa dan biskuit tim tam yang menjadi sarapan pagi hariku di Tanjung Layar. Prihatin, namun tetap bergembira. Sungguh penuh warna perjalanan kali ini bersama Pak Lebah dengan segala keajaibannya, dan Pak Rofik sang pengelana.

Tracking to Cidaon
Tepat pukul 08.00 sesuai dengan rencana, kami bergegas pamit ke Pos jaga untuk menuju Cidaon. Perjalanan sekitar 6 km dengan track menyusuri pantai. Selama perjalanan kami melihat beberapa ekor monyet dan burung rangkok. Track cukup mudah sebab jalan sudah cukup jelas dan tanpa rute pendakian, sesekali kami berjalan di tempi pantai merasakan hentakan ombak, dan kembali melewati hutan saat pantai tidak mungkin kami lewati. Ini kali pertama saya melakukan susur pantai, dan saat itu saya tidak memakai sepatu, hanya sendal jepit, cukup membuat kaki menderita terkena duri, salah kostum namun masih dapat ditolerir sebab beruntung tracknya mudah.

Tiga setengah jam akhirnya kami sampai di cidaon, terlihat ada sebuah dermaga dan sebuah kapal yang menjemput kami kembali ke P Peucang.

Palti’s Tragedy
15 menit dari Cidaon, kami sampai di P Peucang yang memiliki pantai yang sangat indah.Biru air laut dengan pasir putih yang bersih tanpa ada seorangpun yang bermain di pantai, seakan mengajak kami untuk segera merasakan beningnya air P Peucang. Usai memakai pelampung dan google, saya langsung berlari ke pantai dan menceburkan diri dengan pasrah.Segar sekali, takjub dan tak henti-hentinya saya berkata "amazing" dalam hati, bagaimana tidak, kemarin saat sampai di P Peucang, saya tidak sempat merasakan pantai ini, dan sekaranglah pelampiasannya. Terkena pengaruh histeria saya, Palti yang saat itu juga sudah memakai pelampung lantas ikut menceburkan diri, 10 detik kemudian dia teriak-teriak dan kembali ke tepi pantai. Palti nampak panik, ternyata tas pinggangnya lupa dilepas 2 HP dan 1 MP3 player ikut merasakan air pantai P Peucang.

Setelah tragedi itu, Palti nampak kehilangan gairah dan cenderung stress memikirkan nasib kedua HP yang saat itu tidur tak ingin dibangunkan.

Kami melanjutkan perjalanan menuju spot snorkeling di Citerjun dan Legon Waru. Daerah Legon waru sangat eksotis, pantai pasir putih yang indah, sama sekali tidak ada interaksi manusia, setelah pantai terdapat pohon dan semak yang menandakan kehidupan liar tanpa campur tangan manusia. Jejak burung dan ular terlihat disekitar pantai. Terdapat pula jejak yang nampak seperti tapak kucing, kata kobba itu harimau (lebay gk seh?). Diameter tapak itu hanya sekitar 5 cm dan dapat saya pastikan tidak mungkin ada harimau dengan kaki sekecil itu.

Palti tidak tertarik lagi untuk snorkeling di Legon Waru, mungkin masih dalam masa berkabung. Gw turut berduka cita Pal. Ternyata ini hari berkabung untukku juga, sebab HP ku hilang tanpa bekas, sepertinya tertinggal di Tanjung Layar. Selamat jalan Luffy (my HP’s name) I’ll miss you.

Pukul 16.00 kami bergerak pulang menuju desa Taman Jaya. Sekitar pukul 18.00 kami sampai di rumah Pak Komar.Pukul 04.00 subuh kami bergerak pulang dari rumah Pak Komar menuju terminal Labuan, perjalanan sekitar 4 jam dengan sedikit joget ditengah jalan yang berlubang si supir dengan asiknya tetap ngebut.

Ujung Kulon is really amazing. I must come back.
Special thanks to Pak Komar, Pak Lebah(yang udah bantu ngangkat barang-barang kami), Pak Rofik (yang dah nemenin kami jalan ke tanjung layar dan cidaon), Pak Mansur (kapten kapal kami), dan tentu saja team (Palti dan Kobba) tanpa kalian perjalanan yang indah ini tak kan mungkin bisa saya rasakan saat liburan kali ini.

Total Pengeluaran Rp 1.048.400 ++

Hebat..Perjalanan termahal yang saya setting backpack tidak niat. Namun sungguh, sebuah adventure yang menyenangkan, pastikan saya pergi tuk kembali.

"Ujung Kulon National Park" is a wonderfull place of my Indonesia"
Dont't believe it, just try it!!

Ujung Kulon-Prolog

Ketika libur lebaran telah tiba, it’s my time to have another adventure. Explore the amazing of Indonesia. Rancangan awal saya ingin kembali menjelajahi sebuah gunung yang saat masih kuliah tidak sempat saya daki, Gn Halimun yang terletak di jawa barat. Bukan gunung yang tinggi, namun terlihat sangat eksotis dengan hutan yang dimilikinya. Ditambah lagi, saya tidak ingin kembali berdesak-desakan dengan rombongan arus mudik bila hendak menuju daerah jawa yang cukup menyita tenaga.
”Itu gunung ya mba?” tanya Monoph saat ku tawarkan perjalanan ini.
”Aduh, gunung melulu, cari yang lain mau gk mba?”
”Pantai.., kalo Karimun Jawa gimana?”
Pas sekali, beberapa waktu yang lalu saya memang merencanakan sebuah perjalanan ke Karimun Jawa, namun tertahan oleh masalah waktu dan team. Saya langsung menyetujui tawaran Monoph dan saya mulai membayangkan bagaimana indahnya Karimun Jawa seperti yang banyak orang bicarakan.

Dua minggu sebelum hari H, Monoph membatalkan kepergiannya ke Karimun Jawa. ”Auchh....!” Kepalaku langsung sakit ditambah lagi dengan banyaknya pekerjaan yang datang sebelum freeze periode. Mendadak saya langsung membayangkan liburan yang kelabu, hanya di Jakarta dan Jakarta selama 1 minggu. Saat itu ada banyak masalah yang dapat menghambat liburan ini, pertama adalah masalah team, kedua adalah lokasi alternatif selain Karimun Jawa, yang saat itu saya putuskan dibatalkan saja. Selain lokasinya jauh, dan komandan perjalanan mengundurkan diri, saya lebih memilih lokasi yang mungkin bisa dikatakan lebih keren, tidak jauh dan tidak terkena arus mudik, pilihan itu adalah ”Ujung Kulon”.

4 hari sebelum liburan tiba, team yang pasti ikut hanya berjumlah 3 orang (saya, Palti dan Yani aka Kobba). Saya sempat pesimis dengan jumlah ini, dan diam-diam menganggap 80% liburan akan berakhir di Jakarta, di rumah tante, bersama koning, seli baru ku yang sangat cute. Namun saat itu Palti memiliki yang saya butuhkan, yaitu kepastian keberangkatan.

H-2, saat saya berpikir tidak mungkin si Palti dan Kobba mau jalan hanya dengan 3 orang, si Palti ngomong,
”Jangan ampe gk jadi nih!”
OMG..!! I really love these words..gw suka kalo ada orang yang se-kiri aliran gw (akhir-akhir ini, manusia aliran kiri semakin sedikit, sepi rasanya) hahahah...langsung gayung gw sambut untuk segera memantapkan rencana.

Karena posisi saya di Jakarta, agak sulit untuk menyiapkan peralatan nge-camp yang notabene semua ada di Bandung. Untung Astaka punya dome baru yang masih nongkrong di Grand Pancoran regency. Jadinya dome yang masih belum pernah dipake itu saya bawa serta

Maka dimulailah perjalanan ini bersama tri masktetir...

*The story begin to Ujung Kulon National Park*