Jumat, 15 April 2011

Center of Interest di Tanah Borneo

Matahari beranjak pergi dari peraduannya, ketika pesawat kami mendarat dengan mulus di Bandar Udara Internasional Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur. Hamparan laut dan desiran ombak menyambut kedatangan para penumpang yang turun dari pesawat.

Sekilas bandar udara ini mirip dengan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali. Landasan menghadap laut lepas dengan gedung bandara yang tidak begitu besar namun bertaraf internasional. Bedanya, disini tidak terlihat canang (sesajen) dan patung yang memakai kain poleng (kain motif kotak-kotak hitam putih) khas Bali. Tentu saja, sebab ini adalah tanah Borneo. Suasana etnik khas dayak dan banjar yang menghiasi bandar udara ini. Seperti pilar-pilar gedung yang dibalut kayu ulin dan diukir motif khas dayak menjadi pemandangan unik tersendiri.
Meskipun tidak menyandang sebagai ibukota provinsi, Balikpapan merupakan kota yang paling maju di Kalimantan Timur. Bahkan taraf hidup di kota yang memiliki luas 503,3 km² ini sudah melampaui Jakarta, ibukota Negara RI. Perekonomian dan taraf hidup masyarakat Balikpapan menjadi sangat tinggi karena disokong oleh banyaknya industri minyak dan gas bumi yang beroperasi. Walaupun demikian, tidak ada ciri khas khusus di kota yang memiliki julukan kota minyak ini. Kota yang heterogen dan majemuk itulah Balikpapan. Pendatang dari berbagai suku datang menaruh harapan dan masa depan mereka. Bukan hanya itu, para pekerja asing juga ikut-ikutan mengais rejeki dan mendulang harta dari hasil bumi Borneo.

Keheterogenan dan memiliki tujuan hidup yang sama yaitu bekerja, membuat kota ini tumbuh bersahabat, tertib dan teratur antar masyarakat. Tidak pernah ada demonstrasi massa ataupun kerusuhan seperti yang terjadi di berbagai kota lain di Indonesia. “Di sini tidak pernah ada demo, semua sibuk bekerja. Kalaupun ada mahasiswa, mereka adalah mahasiswa yang juga bekerja. Mereka tidak punya waktu untuk berdemo kepada pemerintah. BBM atau bahan pangan naik berapa kali lipatpun tidak akan berpengaruh di Balikpapan,” kata Tajudin, salah seorang teman yang bekerja di Kutai Kartanegara.

Pantai Kemala
Walau tidak punya sesuatu yang khas, namun Balikpapan mampu menjadi center of interest di tanah Borneo. Banyaknya pendatang dan pebisnis baik asing maupun lokal yang meramaikan Bandar udara Internasional Sepinggan setiap hari membuat perputaran perekonomian sangat besar. Tak heran para pedagang dari segala penjuru bumi Borneo berlomba-lomba membuka usaha bisnis di Balikpapan. Sebagai contoh, berbagai kerajianan tangan khas Kalimantan dapat dengan mudah kita temui. Tidak hanya itu, bagi para penyuka perhiasan batu mulia tidak perlu repot ke Martapura, kota penghasil berlian di Banjarmasin. Cukup berkunjung ke Balikpapan, hasrat tersebut dapat dengan mudah terpenuhi.

Pasar Impres Kebun Sayur

Tidak terlihat seperti pasar sayur pada umumnya. Tidak ada bakul yang dipenuhi sayur mayur, juga tidak ada buah-buahan dan timbangan. Etalase kaca berjejer rapi dengan berbagai jenis perhiasan di dalamnyalah yang menyambut kedatangan para pengunjung. Berbagai jenis kerajinan tangan bernuansa etnik Dayak dan Banjar terpajang rapi disalah satu sudut pasar seakan ikut menyapa para pengunjung yang tidak pernah sepi setiap hari.

Inilah Pasar Impres Kebun Sayur, pusat oleh-oleh terlengkap di Balikpapan. Di sini tersedia segala bentuk oleh-oleh khas Kalimantan, baik kerajinan tangan hingga perhiasan batu mulia. Namanya boleh pasar, namun bisa dijamin kebersihan lingkungannya. Selain karena memiliki koleksi oleh-oleh yang lengkap, kebersihan lingkungan ini juga yang mungkin mambuat para pengunjung mrasa nyaman dan betah berlama-lama. Tak jarang pembeli bisa berjam-jam menghabiskan waktu.

Di salah satu sudut kios terlihat tiga perempuan asyik merangkai batu-batu perhiasan menjadi sebuah kalung. Mereka bukanlah para pekerja kios yang sedang membuat produk, melainkan pembeli. Ternyata ini salah satu cara untuk memanjakan pelanggan. Pembeli diperbolehkan merangkai sendiri perhiasan yang diinginkan. Hal ini membuat mereka yang kreatif dan perfectionist menjadi terpuaskan.

“Saya memang langganan di sini, dan bisa berjam-jam kalau sudah begini,” kata Bobby, seorang ibu asli Bandung namun sudah menetap di Balikpapan selama 28 tahun. Sepiring rujak segar dari pemilik kios hadir melengkapi kegiatan mereka.

Yellow Safir-Merah Birma-Jamrud-Rubby-Blue Safir

Selain menjual perhiasan batu-batu alam dengan harga terjangkau, pasar ini juga menjual berbagai jenis perhiasan batu mulia dengan harga selangit. Meskipun batu mulia asli Kalimantan hanya ada tiga jenis, yaitu kecubung, akik dan berlian, berbagai jenis batu mulia impor juga lengkap berjejer rapi di etalase kios. Sebuah cincin batu jamrud dengan taburan berlian disekelilingnya dan diikat cincit emas putih dihargai sebesar Rp 90 juta. Sebuah harga yang fantastis. Tak heran, pasar yang terdiri dari 641 kios dan buka setiap hari hingga pukul 18.00 WITA ini bisa mencapai omzet Rp 2 miliyar sehari.

Teks&Foto : Vonny Pinontoan

Selasa, 15 Maret 2011

Siapa sahabat Jakarta?

Apa yang ada dalam pikiran Anda saat mendeskripsikan Jakarta, Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dalam satu kata?

Tidak bisa dipungkiri bahwa selain sebagai ibu kota Negara, Jakarta merupakan pusat bisnis dan perkembangan ekonomi di Indonesia. Itulah mengapa masyarakat Indonesia dari seluruh penjuru tanah air berbondong-bondong datang ke Jakarta. Mencari kerja, melihat peluang bisnis dan kemudian menetap di sana. Orang-orang yang mencari peruntungan di Jakarta sangat beragam dari strata sosial yang majemuk. Yang miskin dan yang kaya sama-sama menjadikan Jakarta sebagai kota yang dapat menyediakan harapan untuk masa depan mereka.

Tak heran, kota dengan jumlah penduduk mencapai 8 juta jiwa ini pun menjadi penuh sesak dengan berbagai macam suku, gedung tinggi hingga perkampungan kumuh, mobil, motor, maupun truk. Macet pun menjadi makanan sehari-hari masyarakat yang bekerja di Jakarta. Bekerja di Jakarta belum tentu tinggal di Jakarta. Itulah sebabnya jumlah masyarakat Jakarta di siang hari lebih banyak daripada malam hari. Penambahan tersebut berasal dari masyarakat yang tinggal di Depok, Bekasi maupun Tangerang namun bekerja di Jakarta pada siang hari.

Selain melatih tingkat kesabaran, macet di Jakarta juga bisa membuat urat syaraf menjadi tegang. Bagaimana tidak, dikala waktu sangat berharga, macet menjadi kendala. Sesama pengguna jalan dapat saling perang urat syaraf karena sama-sama mengejar waktu di tengah kemacetan. Omelan, makian hingga serempet dan tabrakan yang menyebabkan kematian adalah hal yang mendampingi dampak kemacetan tersebut.

TransJakarta untuk Menghindari Macet, katanya.

TransJakarta atau yang umum disebut Busway menjadi solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Jakarta. Dengan adanya Bus TransJakarta, diharapkan pemakaian kendaraan pribadi dikurangi. Masyarakat menyimpan mobilnya di rumah dan menggunakan bus yang berbahan bakar gas ini ke kantor. Selain murah, hanya Rp. 3500,- untuk seluruh rute, Bus Trans Jakarta juga full AC. Murah, nyaman dan bebas macet adalah tawaran solusi yang sangat menggiurkan. Tawaran ini seakan memberikan angin surga untuk pemberantasan macet di Jakarta.

Adalah tahun 2004, pertama kali busway di operasikan di Jakarta. Sistem transportasi ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio di Bogota, Kolombia. Meskipun begitu TransJakarta memiliki jalur terpanjang dan terbanyak di dunia. Sudah 10 buah koridor resmi dibuka sejak 6 tahun lalu. Dua buah koridor baru, 9 dan 10, menjadi pemain baru di tahun baru 2011. Namun semua ini masih belum dapat mengatasi kemacetan di Jakarta.

Macet di jalan atau di antrian?

Bila menggunakan jalur biasa, mobil atau motor akan terkena macet di jalan, tetapi bila menggunakan busway akan terkena macet sebelum naik bus dan macet saat di dalam bus. Tidak tanggung-tanggung keduanya memiliki lama waktu macet yang fantastis, bisa berjam-jam. Antrian panjang dan lama ada di halte transit bus seperti di harmoni, dukuh atas dll. Sedangkan pada halte-halte lain, meskipun antrian tidak panjang namun saat bus datang penumpang tidak dapat naik karena bus sudah sangat penuh. Bahkan pintu bus sulit dibuka ataupun ditutup. Lantas kemana angin surga yang dulu ditawarkan itu? Dengan bus yang sangat penuh seperti itu, unsur kenyamanan sudah hilang. Untuk bernafas, berdiri dan berpengangan saja sudah sulit. Bagaimana dengan standar keamanan sebuah bus? Berapa jumlah maksimum angkutan sebuah bus TransJakarta? Entahlah, Pemerintah kota seakan mengabaikan hal-hal penting seperti sebuah hal kecil.

Mampang
Beberapa waktu lalu, seorang anak kelas 4 SD tertabrak oleh bus Trans Jakarta di jalur busway daerah Mampang. Kejadian ini menambah serangkaian duka yang menyelimuti alat transportasi ini. Mampang adalah salah satu kawasan di Jakarta Selatan yang sangat macet. Terdiri dari dua ruas jalan untuk dua arah dan dilengkapi oleh jalur bus way di tengah. Banyaknya kendaraan pribadi maupun umum yang melewati jalan ini membuatnya selalu macet sepanjang hari. Lantas, mengapa seorang anak kecil dapat menyeberang jalan di lintasan busway?

Solusi-solusi Mandek
Jumlah mobil dan motor selalu bertambah, tidak sejalan dengan konsep busway untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Jumlah armada busway juga tidak berbanding lurus dengan jumlah pengguna yang kian hari kian bertambah. Lantas solusi apakah yang harus dimiliki Jakarta untuk memberantas macet?

Batasi pengeluaran mobil baru, menaikkan pajak mobil, atau pelarangan menggunakan bbm bersubsidi adalah solusi-solusi yang muncul ke permukaan. Namun apakah solusi ini didukung oleh sistem dan pelaku yang taat? Sebab seberapa pun banyaknya solusi itu tidak pernah bisa mengatasi macet di Jakarta. Lihat saja tiang-tiang mono rel yang dulu dibangun oleh Sutiyoso sewaktu masih menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Proyek yang juga dijadikan alasan untuk memberantas macet di Jakarta itu hingga kini hanya dibiarkan menjadi pajangan ditengah jalan. Terbengkalai tidak terurus, dan hanya menjadi perusak estetika jalan raya. Tanya kenapa?

Senin, 14 Februari 2011

Sebuah kisah klasik untuk menjawab pertanyaan klise

Terkadang saya tidak mengerti dengan apa yang sudah saya lakukan. Pernah suatu ketika saya menyadari sedang berada ditengah hutan. Inilah kali pertama saya memasuki hutan, bulan Januari 2004.

Badan basah karena hujan, pundak letih karena mengangkat perbekalan di dalam carrier, dan kaki melepuh karena diharuskan menggunakan sepatu PDL tentara. Inilah hari pertama pendidikan dasar Astacala, Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) STT Telkom, Bandung. Setelah sebulan yang sebelumnya saya telah menyelesaikan serangkaian teori kelas tentang ilmu dasar kepecinta alaman. Hari itu, setelah berjalan kaki sejauh kurang lebih 7 kilometer saya dihadapkan pada situasi yang tidak saya mengerti. "Kenapa saya ada disini?" "Apa yang kulakukan disini?"."Buat apa saya tidur di tengah hutan, diselimuti dingin, kotor, dan kelelahan?" "Apakah saya harus melanjutkan pendidikan ini?lebih enak saya tidur di kamar dengan belaian lembut bantal dan selimut." Begitu kira-kira kata hati saya yang terus menerus menghantui sepanjang malam. Malam pertama ditengah hutan.

Keinginan saya untuk ikut serta dalam seleksi penerimaan anggota baru mahasiswa pecinta alam sudah menjadi tekad saya sejak duduk dibangku SMA. Namun saat dihadapkan pada situasi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, hati ini mulai ragu. Inilah yang kerap terjadi saat kita menjalani hidup. Kebulatan tekad pun dapat goyah apabila kita dihadapkan pada situasi yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Pikiran-pikiran negatif muncul tanpa henti dan membuat semangat yang tadinya menggebu-gebu menjadi redup atau bahkan hilang.

Beruntung saat itu saya memiliki teman yang mengingatkan saya. "Kalau harus ada yang mundur dari kelompok kita, saya pikir itu bukan kamu", kata Surotong dan Tukul, teman kelompokku saat kuceritakan ingin mengundurkan diri. Kata-kata itu seakan membangunkanku untuk segera keluar dari khayalan zona nyaman yang kuinginkan. Bila orang lain saja bisa percaya saya mampu, lantas apa alasan saya untuk tidak mampu? Sejak saat itu, pikiran untuk mengundurkan diri langsung lenyap tanpa pernah menghampiriku lagi.

Karena tak ada satupun dari kami yang mengetahui kapan kegiatan ini akan berakhir, 5 orang sempat memutuskan mengundurkan diri, 30 menit sebelum acara pelantikan dimulai. Kala itu semua peserta sudah berada pada titik batas kemampuan, wajar apabila mental menjadi drop. Beruntung saat itu panitia masih berbelas kasih agar mereka mau memikirkan lagi keputusan mereka. Akhirnya kami ber-19 berhasil menyelesaikan pendidikan dasar Astacala ke-12 selama 10 hari ditengah kawasan hutan Ciwidey, Jawa Barat.

Tampang kumal, badan yang penuh luka karena duri, kaki yang gemetar seakan hampir tak mampu lagi menahan beban tubuh dan bau lumpur dan becek tak bisa menghalangi tangan kami yang berebut bubur kacang ijo yang telah disediakan oleh panitia. Tak peduli lagi seberapa kotor tangan ini, seberapa bersih air itu, kebersamaan ini adalah awal dimana saya mulai mengenal bagaimana kerasnya alam mendidik kami. Saya yang mengantongi nomor anggota AM-002-KF saat upacara penutupan di Rancaupas, Ciwidey, Jawa Barat, menggantinya menjadi A-063-KF, dua tahun kemudian. Sebuah perjalanan yang tidak singkat, namun juga tidak panjang tetapi memberikan makna yang sangat besar dalam kehidupan yang tersisa ini.

Saat ini, kembali saya dihadapkan pada pertanyaan klise tersebut. "Kenapa saya berada disini?" "Apa yang kulakukan disini?". Ah, seakan tak henti-hentinya pertanyaan itu muncul, lantas saya teringat kejadian diatas dan mencoba mengambil pembelajaran dari semua makna yang ada. Senyum simpul ini pun muncul menghiasi wajahku sesaat sebelum tulisan ini kuakhiri.

Salam lestari
A-063-KF

Minggu, 13 Februari 2011

What God Promise Us

God didn’t promise day without pain
God didn’t promise laugh without sorrow
God didn’t promise sun without rain
But he did promise strength for the day
But he did promise comfort for the tears and light for the way

-by unknown-

Kamis, 03 Februari 2011

Suatu masa di tempat yang indah, Alun-alun Surya Kencana

Saya tiba-tiba terusik akan suatu peristiwa, suatu masa, di suatu tempat yang indah, alun-alun Surya Kencana, Balai Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (BTNGP), Jawa Barat. Seakan memiliki suatu utang yang belum terbayar, saya merasa diminta untuk menuliskan sepenggal kisah perjalanan saya.

Alun-alun Surya Kencana
Walaupun ini merupakan kali kedua saya mengunjungi BTNGP, namun ini kali pertama saya bermalam di lembah yang sangat terkenal itu. Alun-alun Surya Kencana merupakan lembah yang sangat luas dengan padang rumput yang ditumbuhi banyak sekali bunga Edelweis (Anaphalis javanica). Disana mengalir satu sungai kecil dengan air yang sangat jernih. Sumber air selalu menjadi favoritku bila mendaki gunung. Air yang jernih dan rasa dingin yang segar memberikan kepuasan dahaga yang tak terkira.

Sekitar 2,5 tahun yang lalu, 20 April 2008 saya terbangun ditengah senyap dan dinginnya malam, alun-alun Surya Kencana. Jam tangan saya menunjukkan pukul 04.15. Tidur yang kurang nyenyak membuat saya memutuskan untuk keluar tenda. Sekedar untuk mencari tau pemandangan seperti apa yang akan disajikan alun-alun Surya Kencana kala menyambut pagi.

Udara dingin yang menusuk tulang menyapaku seketika saat saya membuka resliting tenda dome. Hawa subuh yang sangat dingin, tidak bisa menahanku tuk terus mengagumi keindahan yang disodorkan padaku. Alun-alun Surya Kencana yang sangat luas terlihat berselimutkan kabut dengan diterangi cahaya bulan purnama seakan ingin menyapaku, “selamat pagi”.

Mata ini tak puas-puasnya memandang hamparan lembah yang terlihat begitu anggun dengan sehelai selendang kabutnya yang tipis. Cahaya bulan purnama pun menyempurnakan keanggunan itu. Segelas teh hangat yang kubuat tuk melawan hawa dingin, menjadi teman yang tepat untuk menikmati moment indah yang entah kapan bisa kunikmati lagi.

Menjelang pukul 05.00, kabut tipis yang menyelimuti perlahan mulai menghilang dan memberikan ruang kepada bulan dan bintang-bintang tuk menemaniku dengan lebih dekat. Sungguh jelang pagi yang sempurna, hingga keheningan pecah karena suara teriakan dari para pendaki lain yang telah terbangun dari tidurnya.

Jatuh cinta dengan suasana pagi di alun-alun Surya Kencana membuatku memutuskan untuk menikmatinya perlahan. Hal ini lah yang membuatku terus teringat landscape indah yang juga terukir indah di dalam memory otak ini. Alun-alun Surya Kencana, entah kapan saya bisa menikmati kesunyian dan keheninganmu lagi. Saat cahaya rembulan, kabut tipis, dan segelas teh menjadi teman dekatku saat pagi menjelang.

Mitos
Menurut mitos yang berkembang, alun-alun Surya Kencana merupakan tempat tinggal dari Pangeran Surya Kencana. Bupati pertama, pendiri kota Cianjur, Jawa Barat, Pangeran Arya Wiratanudatar konon memiliki hubungan dengan putri jin hingga mempunyai anak yang dinamakan Pangeran Surya Kencana. Pangeran Surya Kencana kemudian tinggal di lembah lereng Gn. Gede yang kemudian lembah tersebut dinamakan sesuai dengan namanya. Pangeran Surya Kencana memiliki 2 orang putra yakni, Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi. Menurut cerita dari beberapa pendaki, kerap terdengar derap langkah kuda yang berlari di alun-alun Surya Kencana, konon kejadian ini merupakan pertanda bahwa Pangeran Surya Kencana sedang berada disana dan dikawal oleh prajurit.

Catatan penulis
Apabila anda menginap di alun-alun Surya Kencana pada hari Sabtu atau Minggu, anda akan bertemu dengan para penjual nasi kuning dan nasi uduk di pagi hari. Sekitar pukul 03.00 subuh para penjual yang berasal dari desa Gn. Putri ini mulai mendaki hingga sekitar pukul 05.00 tiba di alun-alun Surya Kencana. Mereka menjual sarapan kepada para pendaki di ketinggian 2750 mdpl. Harga satu bungkus nasi kuning/nasi uduk ini hanya Rp 5000,- (tahun 2008). Nasi nya masih hangat, enak sekali dengan campuran lauk tempe dan mie goreng. Apabila anda penasaran dengan nasi kuning/uduk alun-alun Surya Kencana, pastikan anda menginap disana hari Sabtu/Minggu. Gn. Gede menjadi sangat ramai pada hari Sabtu/Minggu itulah sebabnya mereka hanya menjual di hari tersebut, disamping karena mereka juga memiliki pekerjaan lain pada hari lainnya.

foto dan mitos dari berbagai sumber