Kamis, 24 September 2009

Ujung Kulon National Park

"Manusia hanya dapat merencanakan."
Sebelumnya saya selalu melakukan perjalanan dengan sangat terencana, kisah ini adalah perjalanan yang tidak kami rencanakan, dadakan dan terkesan sedikit maksa, namun perjalanan ini sangat penuh dengan warna warni kehidupan. Banyak kejadian tidak terduga dan sangat diluar rencana, membuat hati kesal dan gulana. Namun ke elokan Ujung Kulon tidak terlukiskan dengan kata-kata, dengan keindahan alam yang masih perawan membuat petualangan ini sangat pantas kami lalui. Keindahan alam Indonesia sungguh tiada habisnya. So check this out !

Sabtu, 19 September 2009
Tri masketir

Itulah kami, yang tetap pede dengan perjalanan ini. Tepat pukul 00.00 saya, Palti dan Yani aka Kobba bergerak menuju terminal bus Kalideres. Menurut informasi yang saya dapatkan, bus Kalideres-Labuan berangkat pukul 02.00. Setiba di terminal kami sempat syock saat orang-orang disana mengatakan bus ke Labuan berangkat pukul 04.00, yang benar saja..ini saja baru jam 00.30. Untungnya kami aktif bertanya kembali dan seseorang mengatakan bahwa ada satu bus yang sudah mau berangkat. Senangnyaa....kami langsung bergegas ke sana dan naik ke bus yang dimaksud. Ternyata bus tersebut masih ngetem, tidak seperti mau berangkat. Kami pun memutuskan untuk duduk di bus sambil menunggu keberangkatan.

Halusinasi
Saat itu bus sangat panas, dikarenakan bus tersebut adalah bus AC, maka tidak terdapat jendela di dalam bus. Orang-orang pada bertahan di dalam bus, mungkin karena motto saat masih sekolah ”Posisi menentukan prestasi” berlaku juga di dalam bus, termasuk kami. Sudah sekitar satu jam lebih menunggu, belum ada tanda tanda bus akan berangkat, baju sudah basah dengan keringat, membuat pikiran ini terasa kacau. Tiba tiba, dari sela kursi saya melihat cewek yang duduk di depanku hanya memakai bra warna hitam. Mungkin sangking panasnya, si cewek tidak tahan dan membuka bajunya. Oh..sungguh panas yang edan. Serta merta saya memberitahukan Palti dan Kobba mengenai hal ajaib ini. Palti dengan sigap langsung ingin membuktikan perkataanku dan berdiri dari kursinya. Lantas ia berkata
”Lengkap kok bajunya”
”Haaaa?” tidak percaya, saya pun berdiri untuk memastikan, dan benar, bajunya lengkap. Halusinasi yang bodoh.

Ahirnya pukul 03.00 bus ini bergerak menuju Labuan. Ongkos dari Kalideres-Labuan dengan bus AC saat musim lebaran Rp 50.000. Pukul 06.00 kami sampai juga di Labuan. Setelah menunggu 2,5 jam akhirnya kami berangkat. Tau-tau baru jalan berapa meter elf kembali berhenti dan seseorang yang gondrong dengan gigi yang cukup mengerikan datang berkoar koar meminta ongkos kepada kami. Dengan seenaknya dia meminta ongkos satu orang ke Taman jaya sebesar Rp 100.000. gila aja tuh orang, tarif normal sebelum lebaran adalah Rp 25.000, benar-benar gila. Setelah perdebatan yang cukup alot, dan sempat mengancam menurunkan barang, akirnya kami damai dengan harga Rp 60.000. usai mengumpulkan uang, si calo membagi uang untuk dirinya dengan supir. Calo rakus yang mencari uang dengan cara pemerasan, sungguh miris melihat hal ini. Namun apa mau dikata, harusnya hal ini menjadi perhatian dari pemerintah daerah, untuk menertibkan pungutan liar yang sangat merugikan penumpang dan juga supir.

Desa Taman Jaya
Sebelum mencapai desa Taman Jaya, kami melewati desa Cibaliung, desa Sumur, dan banyak desa lain. Kami juga melihat penanda jalan menuju Pulau Umang. Pukul 14.00 kami sampai di penginapan Sunda Jaya, penginapan milik Pak Komar. Desa taman jaya sebenarnya sudah merupakan lokasi dari Ujung Kulon National park, namun untuk spot spot terbaik katanya ada di Pulau Peucang dan sekitarnya yang rencananya ingin kami jelajahi. Ongkos menyeberang sangat mahal 1,5 juta untuk satu perahu PP. Kami sangat berharap hari itu ada rombongan lain yang akan menyeberang ke Pulau Peucang, jadi kami bisa patungan menyebearang dengan harga yang lebih murah.

The poor "Mawar" or us
Saat itu pak Komar mengatakan ada satu rombongan yang memang akan menyeberang sore ini sebanyak 25 orang. Muatan kapal kata pak Komar sekitar 25 orang. Kami bertanya apakah kami dapat ikut menyeberang, namun pak Komar menyerahkan semua keputusan kepada pimpinan kelompok which is sebut saja "Mawar". Saya sangat optimis kami dapat menyeberang hari ini, sebab solidaritas pecinta traveling or backpacker itu sangatlah tinggi, kecil kemungkinan kami akan ditolak. Namun kenyataan berkata lain, "Mawar" yang datang ternyata jauh dari dugaan kami. Ia membawa satu rombongan keluarganya yang berjumlah 26 orang dengan barang bawaan yang sangat banyak. Namun banyak anggota yang terdiri dari anak kecil.
”Waduuh...masalahnya barang saya banyak banget”
Ternyata kami tidak diperbolehkan untuk ikut. Kekecewaan dan awan kelabu menghinggapi kami bertiga. Sepenggal percakapan yang terjadi :
”Mau berapa hari disana?”
”Satu hari pak”
”Waaahh..rugi kamu kalo cuman satu hari, saya 4 hari”
”kalau saya pergi kesini minimal 3 hari, kalo gk mending gk usah”
”Kalau kalian mau kesana, harus bawa barang seperti saya ini, yang banyak”
”Suka fotografi juga kan? Peralatannya aja sudah satu karung!!”
Sombong sekali orang ini, pikirku. Namun ada satu percakapan yang membuat kami semakin bertekat untuk tidak kalah semangat untuk ke Pulau Peucang,
"Kalau dibandingkan dengan Pulau Seribu, bagus mana pak?"
"Ah...Pulau seribu mah tidak ada apa-apanya, kalah jauuuuuhh"
Sahut pak Mawar dengan gaya nya yang khas. Seketika kami langsung membayangkan bagaimana indahnya Pulau Peucang. Pulau seribu saja tidak ada apa-apanya menurut Pak Mawar
Terakhir ia katakan
”Sori ya, bukannya gk mau kalian gabung”
”Dadah...”sambil melambaikan tangan serasa ia berkata
”Kasian deh lu gk bisa nyebrang” kalau ini sih jujur saya yang terlalu mendramatisir.
Dan mulailah sejak saat itu nama Mawar selalu kami perguncingkan. Entah apa salah si Mawar sampai kami selalu membuatnya menjadi objek pergunjingan kami. Yang pasti kami sadar dia tidak bersalah saat menolak kami ikut. Masalahnya hanya satu, ia bertemu kami yang sedang gundah gulana diwaktu dan tempat yang kurang tepat. Maka jadilah Mawar menjadi nama yang selalu kami bawa serta sepanjang hari bila rasa bosan datang.

Sore hari Pak komar memberikan berita surga, beliau mengatakan ada rombongan yang akan menuju ke Taman jaya berjumlah 4 orang, dan akan sampai besok pagi. Rombongan tersebut bahkan sudah menyetujui ingin bergabung dengan kami untuk menuju Pulau Peucang. Maka jadilah hari ini kami bergembira untuk menunggu esok hari yang kami nanti.

Minggu, 20 September 2009
Idul Fitri 1430H

Awan kelabu
Meskipun hari ini adalah hari kebesaran umat muslim, di desa ini terlihat biasa-biasa saja. Tidak heboh ataupun meriah. Keadaan semakin memprihatinkan, bosan menunggu dan team yang diharapkan tidak kunjung datang. Pukul 10.00 Pak Komar membawa kabar buruk bahwa team yang seharusnya berangkat tadi subuh membatalkan kepergiannya karena ada acara keluarga. Sungguh kabar duka buat kami. Team yang lain yang rencananya akan datang juga tidak kunjung datang, kabar terakhir, mereka stay di Ciputih, sekitar 1 jam sebelum Taman Jaya.

The show must go on
Perjuangan belum berakhir. Selain waktu yang sudah menipis, kami pun membulatkan tekat untuk tetap berangkat dengan menyewa kapal sendiri. Karena kami hendak nge-camp di daerah cibom, kami harus memakai jasa guide. Ini adalah standar keamanan yang diharuskan oleh setiap tamu. Kapal seharga 1,5 juta dengan jasa guide 200rb (2 hari) kami bagi tiga. Sedikit mahal, ah cukup mahal dan nekat, sebab kami tidak membawa uang sebanyak itu, kami mengutang pembayaran, kesepakanan dengan pak Komar, kami akan melunasi pembayaran di Labuan, setelah mengambil duit di ATM. Pak Komar yang mengerti keadaan kami setuju akan mengutus satu orang untuk menemani kami ke Labuan sebelum kami pulang untuk melakukan pembayaran. Maka jadilah jam 12.00 kami berangkat menuju P. Peucang

Pak Lebah, the incredible guide
Nama guide kami, sebut saja Pak Lebah. Umur pak Lebah sudah 60 tahun lebih. Perawakannya kurus, dengan mata yang sendu, bila bicara agak sedikit terbata-bata. Yang mengesankan, sampai membuat kami tidak dapat berkata-kata adalah saat kami bertanya,
”Bapak sering ya ngantar tamu ke Pulau Peucang?”
”Tidak, saya mah jarang, terakhir kesana tahun 70”
Galau, itulah yang saya rasakan saat itu. Saya tidak tega untuk menolak Pak Lebah dan meminta guide yang lain, beliau terlihat begitu kuyu dan lemah lembut, seorang bapak yang dapat saya liat berperawakan tenang. Kami mencoba mengambil nilai positif dari pak Lebah, mungkin dia masih ingat keadaan disana 39 tahun yang lalu, semoga tidak banyak perubahan, jadi beliau masih bisa kami harapkan.

Pak Lebah juga membawa peralatan masak seperti panci, dan peralatan makan, gelas, sendok dan piring. Air untuk masak kami bawa sebanyak 1 dirigen yang kami dapatkan dari kapal kami. Saat itu saya tidak membawa trangia ataupun bahan makanan yang menjadi ciri khas perjalanan saya bila hendak nge-camp. Tidak ada beras, tahu, tempe, telur, sayuran ataupun buah buah. Kami hanya membawa indomie 6 bungkus, 1 popmie, 4 bungkus biskuit dan minuman sachet. Benar-benar backpack yang gk niat. Soalnya saya sangat berharap di Pulau Peucang terdapat warung nasi, ataupun pemancing yang biasa menjual hasil tangkapannya, namun ternyata pulau ini masih sangat asri dan perawan, tidak ada penjual atau pun warung makan. Maka kami harus bertahan dengan logistik yang tidak seberapa ini. Cukup memprihatinkan, sebab inilah kali pertama saya melakukan perjalanan yang minim logistik. Namun tak mengapa, sebab kami semua bergembira.
Pulau Peucang, The paradise
Mata ini seakan tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Sebuah pulau yang memiliki pantai pasir putih yang sangat indah. Biru air lautnya sangat jernih. Sunggu indah dan membuat mata ini tak bosan-bosannya memandang.

Ini adalah pantai terindah yang pernah saya lihat. Amazing..keindahannya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Disamping itu, pasir putih P. Peucang sangat lembut seperti bedak tabur, sangat berbeda dengan pantai pasir putih yang lain. Kami sempat bertemu rusa, babi hutan dan monyet di Pulau ini. Mereka seperti ”Feel like home” meskipun terdapat manusia, seekor babi hutan mendekat dan berjalan-jalan layaknya hewan peliharaan.

Uang masuk pengunjung adalah sebesar Rp 2.500, asuransi jiwa Rp 3.000, biaya mendirikan tenda Rp 20.000 dan biaya parkir kapal Rp 100.000. Tidak cukup berlama-lama di sini, kami pun bergegas menuju Cibom untuk kemudian mendirikan tenda di Tanjung Layar. Tanjung layar adalah nama beken daerah tersebut, namun orang-orang desa menyebutnya ”Lentera”, sebab terdapat sebuah mercusuar peninggalan jaman Belanda. Saat itu kami ditemani oleh pak Rofik yang sebelumnya bertemu dengan Pak Lebah di P Peucang. Pak Rofik sebelumnya sudah dari Tanjung Layar dan baru kembali dari siarah di goa Sanghiang Sirah. Goa tempat prabu Siliwangi pernah bertapa. Pak Lebah memintaku untuk memperbolehkan Pak Rofik ikut, untuk membantunya selama diperjalanan.
”Ia mau ikut ke tanjung layar, boleh gk?” tanya pak Lebah
”Oh,,mau ke Tanjung layar juga?”
”Iya dia yang tau jalan, kemaren baru dari sana, nanti bantu-bantu saya” Pak Lebah menegaskan
”Oh, iya pak boleh pak”
Nampak Pak Lebah tidak begitu yakin dengan kemampuannya untuk mengantarkan kami sehingga ia meminta Pak Rofik ikut serta. Pak Rofik berperawakan terbalik 180 derajat dari Pak Lebah. Beliau sangat lincah, gemar bercerita dan kalau berbicara cukup ceplas ceplos. Pak Rofik malah terlihat layaknya guide kami, sedangkan Pak Lebah lebih cenderung diam dan memilih membantu kami mengangkat barang (tenda dan air) sepanjang perjalanan. Pukul 16.00 kami bergerak naik kapal menuju cibom. Sekitar satu jam kami sampai. Karena di cibom tidak ada dermaga, kami menuju daratan memakai perahu kecil.

Sebenarnya kami menyeberang kembali ke pulau jawa. Apabila punya cukup waktu, kita bisa melakukan perjalanan darat dari Taman jaya menuju tempat-tempat yang konon katanya untuk para pecinta alam patut untuk dikunjungi, Karang Ranjang, Cibandawoh, Cibunar, Sanhiang Sirah, Ciramea, Tanjung layar, Cibom, Cidaon, Tanjung layar, Citerjurn, Cigenter. Bila ingin mejelajahi semua itu, mungkin butuh waktu kurang lebih satu minggu. Bila beruntung kita bisa berkenalan dengan badak bercula satu, banteng dan berbagai fauna yang hidup bebas di TNUK ini. Berminat?

Tanjung Layar
Pukul 05.20 kami sampai di Tanjung layar. Melapor dilokasi penjagaan mercusuar, kami bertemu 3 pengelana lain, teman-teman pak Rofik, dan seorang penjaga mercusuar. Hidup sendiri, tanpa kawan, kebetulan saja hari itu ia ditemani oleh para pengelana, bila sedang tidak ada pengelana bapak penjaga hanya sendirian, ditemani sang mercusuar. Sekitar 1 bulan sekali ada pergantian shift untuk menjaga mercusuar ini.

Kami mendirikan tenda diatas tebing dan langsung menghadap pantai. Posisi yang sangat mantap untuk beristirahat. Malam itu dipenuhi banyak sekali bintang, namun tanpa ditemani sang rembulan yang menjadikan malam ini lebih sepi. Malam ini makan malam kami hanyalah 4 bungkus indomie dengan 2 potong buras yang kami bawa dari rumah Pak Komar. Sedih rasanya hanya makan indomie, namun mau bagaimana lagi, saya sama sekali tidak menyiapkan peralatan tempur seperti biasanya, namanya juga backpacker niat gk niat, hahaha. Setelah selesai makan bersama pak Lebah, kami mengantarkan beliau kembali ke rumah dinas di mercusuar. Pak Lebah tidak membawa perlengkapan camp, sehingga beliau memilih untuk tidur disana, ketimbang harus tidur beralaskan rumput disebelah tenda kami.

Tanjung Layar terletak di ujung Pulau jawa sebelah Barat Laut, disana terdapat sebuah mercusuar peninggalan Belanda yang masih berfungsi dengan baik. Sampai saat ini, jalan darat menuju Tanjung layar belum ada, kita bisa berjalan kaki dari Taman Jaya untuk mencapai Citerjun, Cidaon, Cibom, Tanjung Layar, Sahngiang Shira, dan masih sangat banyak tempat yang patut untuk dikunjungi di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini. Ahh..andai saat masih aktif kuliah saya mengetahui track ini, pastinya saya tidak harus melalui rute turis yang boleh dibilang cukup mahal ini. Daerah TNUK ini masih sangat perawan, bersih tanpa sampah yang menjadi ciri khas daerah wisata di Indonesia. Ingin rasanya TNUK ini dikelola dengan lebih baik dengan fasilitas yang lebih memadai, namun bila hal itu dilakukan, apakah ada jaminan keindahan alam yang masih alami dan perawan ini akan tetap terjaga? Disini akan sangat dibutuhkan sikap serius dari pemerintah untuk dapat menjaga kelestarian dan kekayaan alam Indonesia bila ingin pariwisata disini ingin lebih ditingkatkan. Mungkin memang lebih baik tetap membiarkan daerah ini sulit dijangkau manusia, agar kelestarian dan keperawanannya selalu abadi dan terjaga.

Freaky night
Sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba terlihat 2 bayangan dengan senter yang menerobos dibalik pohon dari arah belakang tenda menuju tebing. Terlihat dari nyala senter, kedua orang tersebut hendak menuruni tebing yang langsung menghadap pantai tersebut. Suasana terasa cukup menegangkan sebab lebay.com sedang beraksi. Dua orang tersebut cukup lama berada ditebing tersebut, kami dapat dengan jelas melihat nyala senter mereka, tadinya kami hendak menunggu mereka kembali dari sana, namun mata semakin ngantuk. Palti dan Kobba menyarankan agar tidur bergantian untuk berjaga-jaga, namun kupikir tidak seheboh itu, dan kusarankan agar kita semua dapat tidur, tidak usah ada yang berjaga-jaga.

Senin, 21 September 2009
Kami masih hidup tanpa kurang satu apapun dan dapat menikmati pagi hari yang cerah ini setelah segala kerisauan yang terjadi tadi malam. Terlihat pak Lebah dan pak Rofik sudah ada disamping tenda hendak memasak air panas. Kami bertiga berjalan-jalan sebentar dan melihat bangunan peninggalan sejarah disekitar Tanjung Layar. Puas menikmati indahnya Tanjung Layar dan mengambil beberapa gambar, saya meminta Palti menemani ke mercusuar untuk mencari toilet. Saat perut sudah kosong dan siap di isi, saya mencari cari 2 bungkus mie yang memang kami sisakan untuk sarapan pagi ini. Bolak balik saya mencari dari camp ke api unggun tempat pak Lebah masak, namun saya tidak menemukan sarapan kami. Pak Lebah pun datang menemuiku dan berkata
”Mie nya cuman 2, saya sudah makan dengan bapak itu”
”Tinggal aden bertiga, mana? Biar saya masak”
Sakit tertusuk pisau.
”Iya pak, mie nya tinggal itu yang terakhir”
Mungkin Pak Lebah tidak tahu kalau itu mie terakhir, setidaknya pak Lebah bisa berempati dengan keadaan kami yang tidak kebagian, namun kata Pak Lebah,
”Saya mah sudah makan..”
Kembali sakit tertusuk pedang.
”Oh iya pak”
Saya dan Palti tidak dapat berbuat banyak dengan kepolosan dari Pak Lebah kecuali meminta agar dimasakkan air panas untuk di seduh ke 1 bungkus Pop mie yang tersisa dan biskuit tim tam yang menjadi sarapan pagi hariku di Tanjung Layar. Prihatin, namun tetap bergembira. Sungguh penuh warna perjalanan kali ini bersama Pak Lebah dengan segala keajaibannya, dan Pak Rofik sang pengelana.

Tracking to Cidaon
Tepat pukul 08.00 sesuai dengan rencana, kami bergegas pamit ke Pos jaga untuk menuju Cidaon. Perjalanan sekitar 6 km dengan track menyusuri pantai. Selama perjalanan kami melihat beberapa ekor monyet dan burung rangkok. Track cukup mudah sebab jalan sudah cukup jelas dan tanpa rute pendakian, sesekali kami berjalan di tempi pantai merasakan hentakan ombak, dan kembali melewati hutan saat pantai tidak mungkin kami lewati. Ini kali pertama saya melakukan susur pantai, dan saat itu saya tidak memakai sepatu, hanya sendal jepit, cukup membuat kaki menderita terkena duri, salah kostum namun masih dapat ditolerir sebab beruntung tracknya mudah.

Tiga setengah jam akhirnya kami sampai di cidaon, terlihat ada sebuah dermaga dan sebuah kapal yang menjemput kami kembali ke P Peucang.

Palti’s Tragedy
15 menit dari Cidaon, kami sampai di P Peucang yang memiliki pantai yang sangat indah.Biru air laut dengan pasir putih yang bersih tanpa ada seorangpun yang bermain di pantai, seakan mengajak kami untuk segera merasakan beningnya air P Peucang. Usai memakai pelampung dan google, saya langsung berlari ke pantai dan menceburkan diri dengan pasrah.Segar sekali, takjub dan tak henti-hentinya saya berkata "amazing" dalam hati, bagaimana tidak, kemarin saat sampai di P Peucang, saya tidak sempat merasakan pantai ini, dan sekaranglah pelampiasannya. Terkena pengaruh histeria saya, Palti yang saat itu juga sudah memakai pelampung lantas ikut menceburkan diri, 10 detik kemudian dia teriak-teriak dan kembali ke tepi pantai. Palti nampak panik, ternyata tas pinggangnya lupa dilepas 2 HP dan 1 MP3 player ikut merasakan air pantai P Peucang.

Setelah tragedi itu, Palti nampak kehilangan gairah dan cenderung stress memikirkan nasib kedua HP yang saat itu tidur tak ingin dibangunkan.

Kami melanjutkan perjalanan menuju spot snorkeling di Citerjun dan Legon Waru. Daerah Legon waru sangat eksotis, pantai pasir putih yang indah, sama sekali tidak ada interaksi manusia, setelah pantai terdapat pohon dan semak yang menandakan kehidupan liar tanpa campur tangan manusia. Jejak burung dan ular terlihat disekitar pantai. Terdapat pula jejak yang nampak seperti tapak kucing, kata kobba itu harimau (lebay gk seh?). Diameter tapak itu hanya sekitar 5 cm dan dapat saya pastikan tidak mungkin ada harimau dengan kaki sekecil itu.

Palti tidak tertarik lagi untuk snorkeling di Legon Waru, mungkin masih dalam masa berkabung. Gw turut berduka cita Pal. Ternyata ini hari berkabung untukku juga, sebab HP ku hilang tanpa bekas, sepertinya tertinggal di Tanjung Layar. Selamat jalan Luffy (my HP’s name) I’ll miss you.

Pukul 16.00 kami bergerak pulang menuju desa Taman Jaya. Sekitar pukul 18.00 kami sampai di rumah Pak Komar.Pukul 04.00 subuh kami bergerak pulang dari rumah Pak Komar menuju terminal Labuan, perjalanan sekitar 4 jam dengan sedikit joget ditengah jalan yang berlubang si supir dengan asiknya tetap ngebut.

Ujung Kulon is really amazing. I must come back.
Special thanks to Pak Komar, Pak Lebah(yang udah bantu ngangkat barang-barang kami), Pak Rofik (yang dah nemenin kami jalan ke tanjung layar dan cidaon), Pak Mansur (kapten kapal kami), dan tentu saja team (Palti dan Kobba) tanpa kalian perjalanan yang indah ini tak kan mungkin bisa saya rasakan saat liburan kali ini.

Total Pengeluaran Rp 1.048.400 ++

Hebat..Perjalanan termahal yang saya setting backpack tidak niat. Namun sungguh, sebuah adventure yang menyenangkan, pastikan saya pergi tuk kembali.

"Ujung Kulon National Park" is a wonderfull place of my Indonesia"
Dont't believe it, just try it!!

Ujung Kulon-Prolog

Ketika libur lebaran telah tiba, it’s my time to have another adventure. Explore the amazing of Indonesia. Rancangan awal saya ingin kembali menjelajahi sebuah gunung yang saat masih kuliah tidak sempat saya daki, Gn Halimun yang terletak di jawa barat. Bukan gunung yang tinggi, namun terlihat sangat eksotis dengan hutan yang dimilikinya. Ditambah lagi, saya tidak ingin kembali berdesak-desakan dengan rombongan arus mudik bila hendak menuju daerah jawa yang cukup menyita tenaga.
”Itu gunung ya mba?” tanya Monoph saat ku tawarkan perjalanan ini.
”Aduh, gunung melulu, cari yang lain mau gk mba?”
”Pantai.., kalo Karimun Jawa gimana?”
Pas sekali, beberapa waktu yang lalu saya memang merencanakan sebuah perjalanan ke Karimun Jawa, namun tertahan oleh masalah waktu dan team. Saya langsung menyetujui tawaran Monoph dan saya mulai membayangkan bagaimana indahnya Karimun Jawa seperti yang banyak orang bicarakan.

Dua minggu sebelum hari H, Monoph membatalkan kepergiannya ke Karimun Jawa. ”Auchh....!” Kepalaku langsung sakit ditambah lagi dengan banyaknya pekerjaan yang datang sebelum freeze periode. Mendadak saya langsung membayangkan liburan yang kelabu, hanya di Jakarta dan Jakarta selama 1 minggu. Saat itu ada banyak masalah yang dapat menghambat liburan ini, pertama adalah masalah team, kedua adalah lokasi alternatif selain Karimun Jawa, yang saat itu saya putuskan dibatalkan saja. Selain lokasinya jauh, dan komandan perjalanan mengundurkan diri, saya lebih memilih lokasi yang mungkin bisa dikatakan lebih keren, tidak jauh dan tidak terkena arus mudik, pilihan itu adalah ”Ujung Kulon”.

4 hari sebelum liburan tiba, team yang pasti ikut hanya berjumlah 3 orang (saya, Palti dan Yani aka Kobba). Saya sempat pesimis dengan jumlah ini, dan diam-diam menganggap 80% liburan akan berakhir di Jakarta, di rumah tante, bersama koning, seli baru ku yang sangat cute. Namun saat itu Palti memiliki yang saya butuhkan, yaitu kepastian keberangkatan.

H-2, saat saya berpikir tidak mungkin si Palti dan Kobba mau jalan hanya dengan 3 orang, si Palti ngomong,
”Jangan ampe gk jadi nih!”
OMG..!! I really love these words..gw suka kalo ada orang yang se-kiri aliran gw (akhir-akhir ini, manusia aliran kiri semakin sedikit, sepi rasanya) hahahah...langsung gayung gw sambut untuk segera memantapkan rencana.

Karena posisi saya di Jakarta, agak sulit untuk menyiapkan peralatan nge-camp yang notabene semua ada di Bandung. Untung Astaka punya dome baru yang masih nongkrong di Grand Pancoran regency. Jadinya dome yang masih belum pernah dipake itu saya bawa serta

Maka dimulailah perjalanan ini bersama tri masktetir...

*The story begin to Ujung Kulon National Park*

Rabu, 19 Agustus 2009

Java Rockin'Land 2009

It was the first time of international rock music concert in Indonesia. It was held on 7th – 9th August 2009. There were 11 foreign and 22 local bands. There were a great days for my country, Indonesia, because 3 weeks ago 2 bombs blew in Marriot Hotel and Ritz Carlton Hotel, South Jakarta. I was worried if all of foreign band would cancel their schedule. I was wrong! All of them came and rock in our land. Vertical Horizon, MR BIG, Secondhand Serenade and all of us was hypnotized me that “We are not afraid with all of bomb issue in Indonesia”.

First day, Friday 7th August 2009
Vertical Horizon
Me and my friend, Siti was very enthusiastic to watch Vertical Horizon. She came from Bandung to Jakarta just for watching Vertical Horizon, cool yeah. We got 4 free tickets but all of my friends in Jakarta wasn’t interested came to JRL in Friday. Yeah, off course because all of us was very tired after office. That’s why only I and Sity could go to JRL that night. Siti arrived at 22.00 o’clock and we went to Carnaval Beach, place of Java Rockin’Land (JRL) was held, with Blue bird taxi. That taxi with the driver was mad us deeply. They were very slowly like a turtle. We must hurry to get there on time, because VH will start on 23.00 o’clock but they could not go up above 60km/hour. Grrrrrr….

Finally we arrived on 22.40, and here they are..Vertical Horison. Thank God, they were still singing when we came. And the good news, they have not sing yet “Best I ever had”. That was very nice entertain from VH, nice song with sweet voice and good performance. When they finished their last song, we asked them loud
“WE WANT MORE, WE WANT MORE”,


and they came again with 3 songs more. Nice and very kind. No regret to come for them.

Joujouka Madskippers
After that we looked around the JRL other stages, and we stopped at the small stage with 3 members of band who were played cool house music. Yes, that was Joujouka Madskippers from Japan. There were just around 10 people who watched their show. Not because they were bad, but it was Friday. Just a few people can came to JRL in Friday, and that was going mid night. They were filled the last show in segarra stage.

Taxi
We couldn’t find Blue bird taxi to take us home in Ancol area. In Jakarta, there were a few taxis which have best performance and good service. Most taxi in Jakarta have a bad service, you could be robbed or raped if you took a wrong taxi. Blue bird is one of the good one. We were stand enough long beside the street, beside Ancol station, so many bad people there, made us quite afraid. We decided to go away as soon as possible from there, we took one taxi and we stop it in Gunung Sahari street, beside Dunkin Donuts store. From there we finally got the blue bird, and it was picked us up to Pancoran safely.

Second day, Saturday 8th August 2009
Ancol
13.00 o’clock I went to Gambir to meet my friend Palti and his friends. Same with Sity, they were came from Bandung just for watching MR BIG. There are Susy, Amoy and Ugi also who would go to JRL. We start from Gambir at 14.00 o’clock and we arrived at Ancol at 16.00 o’clock. You don’t want to know why it could be so long to get there. So many people, we can not get a taxi to pick us up to Carnaval beach. A long traffic jam make taxi driver didn’t want to picked us. We decided to taken 3 ojek (motorcycle rent with driver) and take us to Carnaval Beach. We should pay Rp 50.000 but there was missed understanding that made Palti lose Rp 20.000.

Crowded
There were so much people there. Ricky, my office mate, joined us to explore the JRL. We took some picture with Sony Alpha 300, Palti’s camera. After watched Rif, we had dinner. Not a nice dinner, but that was enough help us to stand up for the next few hour. Now it’s time for secondhand serenade.

Secondhand Serenade
Time showed 20.55, 5 minute remaining for Secondhand Serenade show. Ough..we were late to take a position for watching. We couldn’t get a good position for watch. We just can stand up far away from stage, and see a small guy with an acoustic guitar singing a nice song. Sometimes I turned my neck to the screen and watched the bigger guy singing on the screen. I was tired, and I couldn’t enjoy the show. 30 minutes left, Palti asked us to leave and take a sit far away from the stage and watched the show to the screen. We take a rest and full filled our power for the next show, MR BIG.

MR BIG
Time showed 21.20 when secondhand serenade finished his last song, “Good bye”. When the people break from the stage (Gudang Garam Intermusic) field, we prepare and ready to go forward the stage and take position for the next show, MR. BIG. Some people go to the other stage (Gudang Garam dome) which will present Pure Saturday, but still there so many people who decide for waiting in the Gudang garam Intermusic stage area for MR BIG. We are some of them. We have to wait around 1,5 hour for the next show. MR BIG show schedule was on 23.00 o’clock. That was a very un-comfort situation. There were so many people stand with a small place. Can not get a fresh air, dehydration, and tired. Some of them sat, some people could not sat and have to stand until the show start. I tried to sat, but I feel worse, hotter, dizzier, so I prefer to stand again. When 23.00 o’clock, we sang ‘Indonesia Raya’ with the host and all band members who was showed in this stage (Rif, secondhand serenade) and finally…..Eric Martin, Pat Torpey, Billy Sheehan, and Paul Gilbert is coming. Hiaaa…. Every body jumped and screamed.


They were so amazing, in their old, they still have a good performance, nice vocal and performance from all of them. I really no regret have to wait 1,5 hour for them. They were gave us a cool show. We have to ask them “WE WANT MORE” many times for the legend song, “TO BE WITH YOU”.

Suffering
00.45, when the show finished. After take a rest, we decide to go home. Palti, Susy, Ugi, Moi, Ricky and me, have to walk (yes, by foot)from Carnaval beach to out side Ancol. Traffic jam made car stop in a long way. We got out to the big street in 2.00 o’clock. Our suffering still continued, we have to wait the taxi beside the street. So many people do the same thing like us. We couldn’t not find a good taxis, almost taxi didn’t want to use the fare-meter. Most of taxi in Jakarta in several condition, didn’t want to use the fare-meter, and give his own tariff for the customer. The tariff would be more expensive than usuall. We have to wait until 03.30 when a Gamya taxi came and pick us up. Six people got in the taxi. First we go to Gambir station, Palti, Ugi and Moi want to go back Bandung at 5.00 o’clock, and then Ricky in Kalibata, Susy in Mampang, and last, me in Setia Budi. All of us reached place safely.

Very thank to the driver who has a kindly for us. He used the fare-meter, and take us all. I couldn’t remember the driver’s name, but I can remember the car number is 452R. Thank you so much.

Those were great concerts, and a great adventure.

Jumat, 31 Juli 2009

Menjelajah Pantai Selatan, menyusuri Green Canyon

Sabtu 23 Mei 2009
Perjalanan kali ini dipilih lokasi pesisir selatan. Delapan orang (Adek, Jeki, Gimbal, Engkong, Supari, Bram, Ocha dan saya) dengan style backpacker menyewa sebuah mobil panter untuk mengantarkan kami selama 2 hari kedepan dengan biaya Rp.250.000/hari. Jam 00.30 kami bergerak dari secretariat Astacala, Bandung menuju pantai Pangandaran. Pukul 05.30 kami tiba di pangandaran, beristirahat sejenak dan sarapan bubur ayam di depan mesjid Al-Istiqomah. Setengah jam kemudian kami bergerak memasuki kawasan pantai pangandaran, dengan membayar uang masuk mobil sebesar Rp 27.000.
Pantai Barat Pangandaran
Inilah kali pertama saya melihat pantai pangandaran secara langsung. Menurut kabar, pantai ini tidak begitu bagus karena agak kotor dan ternyata kabar tersebut memang benar. Meskipun pantai sangat ramai dengan berbagai losmen, hotel maupun cottage, para pedagang dan para pengunjung berbaur ramai ditepi pantai membuat pantai tampak sangat penuh. Anak anak berlarian, muda mudi yang bercengkrama, para nelayan dan perahu yang terlihat ditepi pantai juga para penjual yang menjajakan berbagai macam makanan maupun mainan dan aksesoris, sungguh pagi yang sangat ramai.


Pantai Timur Pangandaran
Bosan berjalan jalan di pantai barat, kami memutuskan beranjak menuju pantai timur. Di pantai timur sudah dibangun pemecah ombk disepanjang pantai, jadi kita tidak bisa lagi melihat hamparan pasir pantai disana. Yang ada adalah batu batu karas berwarna hitam yang disusun sebagai pemecah pantai. Disekitaran pantai terlihat pelelangan ikan dan beberapa restoran makanan laut. Jeki langsung mengambil posisi untuk mengambil gambar desekitar pantai dengan camera Nikon D60, adek dan aku juga berhunting ria dengan camdig pocket.


Tak terasa matahari sangat terik menyengat kulit, mata terasa sedikit berat dikarenakan kami belum sempat tidur sejak perjalanan dari bandung. Puas hunting, dan seakan diusir dari pantai oleh sengatan sinar matahari pagi yang entah kenapa terasa sangat menyiksa kami pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Pukul 07.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Batu Hiu.
Batu Hiu
Sekitar 30 menit perjalanan kami pun sampai di kawasan pantai Batu hiu. Kami hanya dikenakan karcis masuk untuk mobil sebesar Rp 27.000,-. Tidak ada biaya masuk perorang sama seperti di pantai Pangandaran. Konon katanya, nama batu hiu diambil karena terdapat sebuah batu besar yang mirip sirip ikan hiu.


Di kawasan batu hiu, kita dapat menikmati pantai dari dua spot area yang berbeda. Yang pertama bisa menikmati pantai sama seperti pantai pada umumnya, yaitu lepas pantai dengan pasir hitam. Atau apabila ingin mendapatkan view yang berbeda, kita bisa naik kearah bukit dan akan menemukan spot yang sangat indah untuk menikmati pantai dari atas tebing.


Tempat yang asik untuk beristirahat. Ditemani oleh hamparan pohon yang rindang, dan hijaunya rumput membuat hati tak kuasa untuk merebahkan badan.


Saya yakin, siapapun yang melihat spot ini, pasti akan langsung mencari tempat untuk bersantai dan menikmati indahnya biru air laut dan deru ombak. Don’t believe it, just try it!


Hari itu Adek dan Bram yang menjadi koki, kami makan bakwan kornet dan...lupa...seingatku menunya tidak begitu menarik, namun thanks to the chef yang sudah bersedia masak untuk kami siang itu. Berkat mereka perut keroncongan ini dapat diam sejenak. Kami juga sempat menikmati segarnya kelapa muda yang disana dihargai Rp 5.000,-/buah. Setelah kenyang kami pun bisa melanjutkan perjalanan ke tempat yang cukup legendaris di Jawa Barat, ”GREEN CANYON”.
Green Canyon a.k.a Cukang Taneuh


Sesuai dengan predikatnya sebagai tempat yang legendaris, kami harus merogoh kocek cukup besar untuk dapat menikmati indahnya sang Legendaris. Satu buah kapal dihargai Rp 75.000,- dan itu pun maksimal untuk 6 orang (padahal untuk kapasitas perahu bisa hingga 10 orang) Karena saat itu kami berdelapan, dan petugas tidak mau dinego agar kami cukup memakai 1 perahu, kami pun menyewa 2 perahu. Aku, Jeki, Bram dan Supari satu perahu. Adek, Gimbal, Engkong dan Ocha diperahu yang kedua. Satu perhu ditemani oleh seorang nahkoda dan asistant nya.
Hijau
Benar-benar hijau air sungai di Green Canyon, sungguh anda tidak dibohongi oleh iklan iklan atau media sponsor yang mungkin sempat anda ragukan. Disekitar kanan dan kiri sungai rimbun ditumbuhi oleh pohon dan daun daun hijau. Tak jarang kami pun melihat biawak ditepi sungai.


Perjalanan yang sebenarnya adalah saat perahu ini berhenti saat batu batu besar menghadang laju kapal dan membuat sungai menyempit. Saya melihat banyak sekali orang yang meninggalkan kapal mereka dan berjalan-jalan diatas batu yang besar itu. Inilah adventure yang sebenarnya, menjelajahi Green Canyon dengan pelampung yang sudah disiapkan dimasing-masing perahu. Tentu saja dengan ekstra cost. Untuk dua perahu kami membayar Rp 160.000,- . Ekstra cost ini sebenarnya biaya tunggu perahu plus guide.
Nyebur..
Kami harus nyebur untuk mengeksplore sungai ini. Bagaimana nasib kamera kami? Tukang perahu sudah mengatakan bahawa kami dapat membawa camera bila mau, namun aku, jeki, ocha dan adek tidak ada yang percaya. Bok ya kami full basah dan harus berenang, ditambah lagi tetesan-tetesan air dari atas yang cukup deras membuat kami memutuskan tidak membawa camera untuk ditinggal di perahu. Beberapa saat setelah nyebur, tukang perahunya bertanya
”Kok gk jadi bawa kamera?”
”Ini kan bagus kalau difoto”
”Padahal ini saya sudah siapkan plastik”


Saya cuman bengong dari bawah melihat tukang perahunya berjalan disisi tebing sungai yang saat itu memang bertekstur tebing goa. Ternyata tukang perahunya berjalan menemani kami dari sisi sungai, itulah sebabnya dia berkata kamera dapat dibawa, sebab dia yang akan memegang kamera tersebut buat kami. Oh my God!!one mistake!!. Beramai ramai kami meminta agar camera kami diambil diperahu, namun sayang perahunya sudah diparkir cukup jauh dari tempat kami. Sedih yang tak berujung karena tidak ada dokumentasi saat kami lompat dari ketinggian 7 meter layaknya lompat indah. Kurang lebih 2 jam kami bermain-main di sungai legendaris ini, sampai akhirnya kami pun pamit. Ini menjadi pengalaman indah sekaligus cukup pahit bagi kami. Untuk kunjungan kedua, dipastikan kamera akan selalu dibawa.hahaha.
Batu Karas
Kata orang sih, save the best for the last. Batu Karas adalah tujuan pantai tempat kami menginap, mendirikan tenda. Dari tarif masuk saja sudah paling murah Rp 17.200,- ditambah lagi kata petugasnya bahwa pantai ini adalah pantai kelas 2. Sungguh terlalu. Jadi sebenarnya bukan save the best, but save the cheapest for the last. Hahaha. Dipersimpangan jalan engkong bertanya, “belok mana?”
”kiri”
Saat mobil dibelokkan ke kiri, kami menyusuri jalan yang sangat sepi, hening dan tak berpenghuni. Semakin jauh mobil berjalan, jalanan semakin sepi. Tidak ada rumah ataupun KM dan toilet umum yang saat itu adalah lokasi yang kami dambakan. Cukup was was namun hamparan laut yang tenang sore itu membuat kami memutuskan untuk menikmati sunset sebelum mencari spot untuk mendirikan tenda.


Tak ada kapal nelayan, hanya terdapat beberapa nelayan yang sedang menjala ikan dipinggir pantai dan seekor anjing liar yang telah mencuri snack kami. Benar benar sore yang sepi dan hening, suasana yang sangat jauh berbeda dari tempat-tempat sebelumnya.
Gelisah
Matahari sudah mulai menghilang, cahayanya samar-samar masih dapat kami rasakan dan membuat kami bergegas untuk segera berangkat. Kami tidak mungkin mendirikan tenda di pantai ini, sekeliling kami hanya ada semak belukar dan beberapa bangunan tua tak berpenghuni. Tidak ada kamar mandi maupun toilet untuk kami membersihkan diri kami yang basah sejak dari Green Canyon. Sama sekali tidak ada penduduk yang tinggal disini, tidak ada cahaya lampu dan hingar bingar percakapan yang kerap menemani disuatu desa dimalam hari.
”Kita balik ke Pangandaran saja lah” celetuk Adek yang saat itu tampak sudah cukup putus asa melihat gelap malam yang perlahan menyapa kami.
”Kita cari dulu lah, masa balik sih” mayoritas suara tidak menyetujui usul dari Adek. Akhrnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan memutar balik mencari simpang jalan tadi. Kami putuskan akan mencoba jalan yang satunya lagi, mungkin ada kehidupan disana. Harap harap cemas.
Cahaya
Tampak cahaya lampu dikejauhan saat mobil kami menyusuri jalan, beberapa rumah terlihat dan terdapat satu toko oleh-oleh dan beberapa warung. Layaknya surga yang dinanti, kami langsung memarkir mobil dan segera mencari Kamar Mandi umum untuk mandi dan berganti pakaian. Jalan kedepan sebenarnya masih panjang, agak sedikit nanjak dan cukup gelap bila dilihat dari tempat ini.Namun kami tidak ingin mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh, takut tidak bertemu kamar mandi umum lagi. Sekitar satu jam kami mandi dan beristirahat ditempat ini sebelum akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menyisiri jalan yang menanjak itu.
Kehidupan
Perlahan namun tak jauh dari sana, kami baru sadar ternyata inilah pantai Batu karas yang sebenarnya. Terdapat banyak penginapan, restoran sea food, warung dan tentu saja KM umum dan Toilet umum. Sedikit dongkol namun terasa cukup lucu, ternyata kami telah salah menduga area wisata yang sebenarnya. Mobil kami parkir ditepi jalan dan tenda kami dirikan dipinggir pantai. Sebelah kami sudah ada rombongan lain yang juga mendirikan tenda. Hmmmm...menu hari ini adalah makanan laut.
Ikan


Disekitar pantai Batu karas tidak terdapat tempat pelelangan ikan seperti di pantai timur Pangandaran. Tidak ada nelayan yang menjual ikan yang kerap bisa kita temui dipinggir pantai. Akhirnya Aku dan Bram berhunting ikan di salah satu dari 3 restorant seafood disana untuk mencari menu ikan bakar. Saat itu pilihan jatuh pada Ikan Kuwe seharga Rp 50.000/kg sudah dengan ongkos masak. Malam itu team memasak nasi sendiri dan ikan dimakan beramai ramai di pinggir pantai, di depan tenda. Sungguh malam yang menyenangkan.


Minggu 24 Mei 2009
Pagi hari barulah kami dapat melihat rupa asli dari pantai Batu Karas. Tidak jauh berbeda dari pantai sebelumnya. Berpasir hitam, banyak penjual dan para turis domestik yang meramaikan pantai. Pagi hari air laut mulai pasang, dan sekitar pukul 09.00-10.00 kami sampai harus menggeser tenda beberapa kali ke arah lebih keluar dari pantai sebab ombak mampu mencapai tenda kami. Seperti bermain kucing-kucingan dengan ombak.
Ongkos toilet/Kamar Mandi umum adalah flat Rp 2000,-. Untuk pemakaian satu jam, atau hanya 3 menit harganya tetap sama. Pukul 13.00 kami pun bergegas kembali ke Bandung.
Berikut referensi harga yang dipakai saat itu.


Ciamis adventure is a recommended track.

Senin, 13 Juli 2009

Rafting bersama Riam Jeram

Weekend 11-12 Juli 2009 adalah pertama kali nya saya mengunjungi operator Riam Jeram, Sukabumi untuk mengikuti acara outing dari salah satu vendor.

Sabtu 11 Juli 2009
Kami diturunkan dari bus di area meeting point Riam Jeram. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menggunakan mikrolet menuju lokasi Riam Jeram. Disana kami dijamu dengan es kelapa muda yang segar. Duduk disaung dengan semilir angin yang sejuk sambil menikmati pemandangan Cicatih dibawah tebing.


Hari pertama di isi dengan 4 games dari fasilitator Riam Jeram. Kemudian kami bermain paint ball.
Pukul 18.00 kami menyelesaikan seluruh permainan dan bergegas untuk mandi dan makan malam. Ternyata para fasilitator dari Riam Jeram sangat penuh semangat dengan memberikan games-games setelah makan malam. Entah kenapa saat itu perut terasa sangat tidak enak, kembung dan sakit. Saya memutuskan tidak melanjutkan games-games terakhir dan lebih memilih menjadi fotografer dadakan. Saat tidur tiba, saya sangat tersiksa sebab perut terasa sangat sakit dan kembung. Saya tidak bisa tidur dan sangat gelisah. Akhirnya saya diare. Dua kali bolak balik kamar mandi dengan pup cair bak air keran.

Minggu 12 Juli 2009
Lengkap sudah penderitaan ku saat pagi hari saya memuntahkan semua makanan yang masih ada dilambung. Saat menunggu kamar mandi yang saat itu semua terisi, saya tak tahan kuasa dan akhirnya muntah dipinggir saung. Mohon maaf kepada pihak Riam Jeram karena saya sudah mencemari keindahan saung anda

SEMAANGGAATTT...!!!! setelah muntah, perasaan menjadi sedikit membaik, namun perut masih terasa mules. Saya tidak berani makan pagi itu. Hanya minun segelas teh hangat dan sebuah tempe goreng. Dalam hati saya berkata ”Gw gk mau nge-dayung tar, mo nyante-nyante aja jadi turis, kan lagi tatiiittt” hehehe...begitulah kira-kira niat licik dalam otak saya yang pada kenyataannya tidak terlaksana, sebab saya lupa kalau sedang sakit perut, senang bisa rafting di cicatih mengalahkan rasa lemas yang ada. Sekitar pukul 08.00 kami naik mobil bak terbuka dengan 3 kursi panjang di dalamnya dan menuju daerah lokasi start pengarungan. Perjalanan ternyata sangat jauh, sekitar 45 menit perjalanan menuju lokasi. Pengarungan kali ini katanya akan menempuh jarak sekitar 12.5 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam.

Cicatih....here I come!!!

Saya mendapat perahu yang lebih kecil dari yang lain, beranggotakan saya sendiri, Iyank, Exa, Mas Sigit dan Kang Aang selaku skiper. Kang Aang ternyata sudah sangat senior, beliau datang ke Cicatih sejak tahun 2006 tepatnya sejak Riam Jeram berdiri. Jangan-jangan beliau adalah anggota Aranyacala Trisakti. Ahaha..saya lupa bertanya.

Cicatih memiliki jeram-jeram yang sangat mengasikkan, sayang sekali kami berkunjung saat air sungai lagi dibawah debit normal, mungkin ada baiknya bisa mencoba lagi saat musim hujan, dijamin akan lebih mengasikkan. Disepanjang sungai saya sempat melihat beberapa ekor biawak, tak jarang terlihat sekelebat binatang dipohon, yang kata Kang Aang adalah monyet. beberapa kilomometer sebelum finish, kang Aang bertanya padaku ”Dulu waktu di kampus pernah belajar jadi skiper?”
”Iya pernah” jawabku
”Mau bawa gk?”
Duh...kapan lagi nge-skiper di Cicatih. Langsung saya beranjak dan berpindah posisi memegang kendali skiper. Wah...sdh sangat lama sekali saya tidak duduk diposisi ini. Meskipun sudah dibantu Kang Aang, namun rasa lemas sehabis diare sungguh menyita tenaga, waktu yang singkat, namun sangat menyentuh. Mungkin lain kali saat pengarungan berikutnya Kang Aang mau membantu me-refresh ingatan akan asyiknya bertualang membawa perahu.

Pengarungan pun berakhir, dan selanjutnya Flying Fox yang menjadi target selanjutnya. Peserta yang lain begitu sampai darat langsung bergegas mandi, mungkin dalam pikiran mereka air sungai yang coklat perlu segera dibersihkan dari badan. Takut gatal dan merasa tak nyaman. Saya, Iyank, Dewi, Mitha dan Mba Dewi lebih memilih duduk minum teh hangat sambil menunggu kru Riam Jeram untuk menyiapkan Flying Fox. Saat itu saya memilih gaya superman. ”AAAArrrrggghhhhhhhhh” mengapa setiap kali berada dalam ketinggian saya sangat gemetar. Ternyata fobia ketinggian tetap sulit aku hilangkan meskipun sudah beberapa kali memanjat tebing, vertical caving dan Flying Fox. Lengkingan suaraku sangat kencang dan membuat para kru tersenyum. Saat tiba dibawah mereka langsung berkata ”Ayo coba lagi, pasti lebih seru”. Lompatan kedua ternyata lebih mudah, superman is flying.


Setelah makan siang dan mandi, packing dan acara penutupan kami pun berpamitan. Sampai jumpa lagi Riam Jeram, sampai jumpa lagi Cicatih, sampai jumpa lagi Kang Aang dan para fasilitator. Terima kasih atas 2 hari yang menyenangkan ini.

Special thanks to team MIG : Mitha, Mba Dewi yang dah baik banget, Jolang, Mas Sigit, Exa, bos MIG yang dah nyiapin acara ini dan terutama Mba Dewi yang dah ngajakin gw ikutan outing anak-anak Transmisi planning.