Sabtu, 27 Juli 2013

Kepulauan Seribu, Pantai – Pantai Menawan di Seberang Jakarta


Ibu kota Negara RI, DKI Jakarta, merupakan kota metropolitan yang sangat padat dan sibuk setiap harinya. Kemacetan dan polusi menjadi makanan sehari-hari masyarakat di kota ini. Bagi orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, bisa jadi mereka tidak akan menyangka bahwa tak jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk tersebut terhampar ratusan pulau yang memiliki pantai – pantai yang sangat menawan. Pulau – pulau tersebut membentuk gugusan kepulauan yang dikenal dengan nama kepulauan seribu. Kepulauan seribu sendiri merupakan kabupaten administrasi di DKI Jakarta. Meskipun dinamakan kepulauan seribu namun hanya terdapat sekitar 342 pulau di gugusan ini dan hanya beberapa pulau yang berpenghuni. Kepulauan ini terletak disebelah utara Jakarta dan tepat berhadapan dengan teluk Jakarta. (sumber)
Pulau Pramuka
Pulau Pramuka merupakan pusat pemerintahan dari kabupaten administrasi kepulauan seribu. Akses untuk mengunjungi kepulauan seribu dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu Marina Ancol, Muara Angke, Tanjung Pasir dan Muara Baru. Beberapa kali mengunjungi kepulauan ini, saya baru pernah mencoba transportasi melalui Muara Angke dan Tanjung Pasir. Setahun yang lalu, tepatnya sekitar bulan February 2012 saya dan lima orang teman bertolak dari Bandung menuju dermaga Muara Angke, Jakarta Utara. Dua diantaranya adalah warga asing, Gunnar dan Allison, dimana kita biasa menyebutnya bule.  Gunnar adalah teman kuliah saya yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar selama satu semester dari Jerman, sedangkan Allison berasal dari Amerika yang sedang melakukan magang terkait tugas akhirnya di Bali. Allison datang bersama teman saya yang juga adalah instruktur diving dari Bali. Kami berempat berencana ingin melihat keindahan bawah laut kepulauan seribu dengan menyelam sedangkan dua teman yang lain akan melakukan snorkeling.
Kapal Motor Pulau Pramuka
Diving dan Snorkeling daya tarik Kep. Seribu

Pemberangkatan kapal dari Muara Angke rutin setiap hari pada pukul 6 dan pukul 13.00. Sekitar tiga jam waktu yang kami perlukan untuk mencapai Pulau Pramuka dari Muara Angke. Sesampainya disana, telah menunggu seseorang yang menjemput kami ke penginapan. Jadi apabila hendak berlibur ke kepulauan seribu, terlebih dahulu memesan tempat penginapan atau memilih paket wisata disana. Wisatawan dapat memilih berbagai paket wisata yang disediakan ataupun hanya sekedar ingin menyewa penginapan. Paket tersebut biasanya berupa paket wisata mengunjungi beberapa pulau, makan makanan laut dan snorkeling. Terdapat pula paket diving, seperti yang saya ambil saat itu. Mayoritas rumah di Pulau Seribu dapat digunakan untuk disewakan kepada para wisatawan dan harganya sangat terjangkau.

Hamparan laut yang berwarna biru jernih menyambut para pengunjung yang baru turun dari kapal motor yang membawa kami. Terlihat jelas ikan-ikan berenang di pantai karena jernihnya air laut di pantai ini. Pulau Pramuka biasanya digunakan para pengunjung sebagai “base” dan dari sini dapat menggunakan kapal kecil untuk mengunjungi beberapa pulau yang lain dan mencari lokasi snorkeling maupun diving. Meskipun visibility saat penyelaman tidak sebaik di Bali, namun teman saya sangat menyukai liburannya di Kepulauan Seribu. Mereka tidak menyangka, disekitar kota metropolitan seperti Jakarta terdapat gugusan pulau yang memiliki pantai yang sangat eksotis. Ditambah lagi, biaya yang mereka keluarkan untuk menikmati paket menyelam sangat murah bila dibandingkan dengan Bali.

Keesokan harinya, setelah kami selesai melakukan penyelaman yang terakhir dan bersiap untuk kembali ke Jakarta, saya dan Gunnar menyempatkan diri untuk melihat tempat pembiakan tukik di Pulau Pramuka. Terdapat banyak sekali tukik yang bila sudah tiba waktunya akan dilepaskan kembali ke lautan.
Penangkaran Penyu Pulau Pramuka
Mungkin hanya dua hari yang kami habiskan di sana, namun keindahan kepulauan seribu akan selalu ada dalam ingatan kami, sehingga setiap waktu apabila ingin sedikit menjauh dari kemacetan, hiruk pikuk dan polusi kota Jakarta, berwisata ke Kepulauan Seribu adalah pilihan yang sangat menarik.

Foto - foto: Vonny Pinontoan (Penulis)


Minggu, 30 Juni 2013

Hello South Africa!

Rasanya sudah lama sekali saya tidak menyempatkan diri untuk menulis, sekiranya tulisan ini bisa menjadi penyegar otak dan jemari saya yang sudah lama tidak menulis.

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi panitia "The 5th Indonesia International Conference on Innovation, Entrepreneurship and Small Business" di Bandung tanggal 24-27 Juni 2013. Disana saya bertemu dua orang peserta, perempuan dan pria, yang berasal dari South Africa, meskipun demikian mereka berkulit putih dan merupakan keturunan Jerman. Mereka adalah sosok paruh baya yang sangat ramah. Saya sangat bersemangat menceritakan bahwa saya sangat ingin ke Africa dan mendaki gunung Kilimanjaro yang menjadi mimpi saya. Tak disangka, ibu paruh baya tersebut juga berkeinginan yang sama, sehingga kami pun bertukar kontak dan berharap suatu saat kami akan bertemu lagi, dan semoga itu di Kilimanjaro. 

Keesokan harinya ibu tersebut menghampiriku dan bertanya, 
"Vonny, will you join the tour tomorrow?"
"No, mam..I'm not going tomorrow"
"Owh, I have a jacket, a warm jacket, that I brought from South Africa and I want to give it to you if you want."
"I love to.." 
"Ok, then wait for me, I'll pick it up and brought here for you. You can use it when you climb Kilimanjaro"

Terharu dan senang sekali, Jacket yang diberikan adalah Jacket universitas, North-West University, Potchefstroom campus, Engineering Faculty. Seakan ada korelasi dengan background pendidikan saya yang juga berasal dari fakultas teknik. 

Belum berkesempatan ke Africa, dapet Jacket dari sana dulu, semoga semakin cepat mimpi untuk menyapa Uhuru menjadi kenyataan.

Minggu, 05 Agustus 2012

Manusia dan Tebing

Dengan dua motor bebek, empat orang bergerak dari sekretariat Astacala ke lokasi panjat tebing di Citatah, Sabtu 28 April 2012. Tebing 125, demikian namanya dikenal dikalangan para pemanjat. Tebing ini merupakan kawasan karst di wilayah Citatah, Padalarang, Jawa Barat.  Selain menggunakan kendaraan pribadi, lokasi ini dapat kita capai dengan menggunakan bus jurusan padalarang, harganya sangat terjangkau, cukup Rp. 5 ribu kita sudah dapat menikmati perjalanan yang biasanya ditembuh sekitar 1.5 jam dengan bus ber-AC. Apabila menggunakan bus biasa tanpa AC, harganya Rp. 3 ribu. 

Karena lokasinya yang mudah dijangkau, lokasi ini menjadi favorit dan tidak pernah sepi oleh penggiat panjat tebing. Tak hanya dari Bandung atau Jawa barat, terkadang juga terdapat beberapa pemanjat dari luar daerah. Malam itu kami sampai sekitar pukul 9 malam, setelah sempat diguyur hujan deras yang memaksa kami harus berteduh di Cimahi. Disana terdapat dua saung yang cukup besar yang biasa ditempati para pemanjat melewati malam. Tidak banyak yang berubah dari kawasan ini, hanya saja jalan masuk ke lokasi tebing yang sudah digeser dan terdapat beberapa cerita mengenai konflik yang sedang terjadi antara para pecinta alam dan warga sekitar. 

Pabrik Marmer
Kawasan karst di Citatah sudah menjadi kawasan pengeboman sebagai bahan baku dari pabrik pembuatan marmer yang sangat besar. Kegiatan yang sudah berlangsung sekian lama ini membuat gunung karst di Citatah menjadi menipis setiap tahunnya. Dentuman bom kerap kami dengar berkali-kali, dan tibalah saat ini, saat tebing 125 juga akan dihancurkan. Hal ini tentu saja menjadi konflik yang alot antara para pecinta alam dan warga yang mencari nafkah di pabrik. Sebuah spanduk yang menolak penghancuran tebing dibentangkan, tertera nama kelompok pecinta alam yang menolaknya. Sesuatu hal yang ironis, sebab seharusnya alam tidak untuk diperebutkan. Alam haruslah menjadi penengah dan kebahagiaan bagi setiap manusia. Sikap manusia yang serakah dan egoislah yang kerap menjadikan alam sebagai ajang konflik tak berkesudahan.

Malam itu terasa sangat istimewa untukku. Sudah sangat lama sejak terakhir kali saya bermain ke tebing, mungkin ada sekitar 5 tahun yang lalu. Terdapat sebuah pabrik marmer dengan bongkahan marmer yang berserakan di halaman pabrik tepat dibawah saung yang kami tempati menjadikannya sebagai sumber penerangan tambahan selain lilin dan sinar bulan. Suara jangkrik menemani kami sepanjang malam dan suara tawa dari permainan poker malam ini seakan membawaku kembali ke masa lalu. Masa dimana saya belajar mengenal alam, masa dimana saya mengerti alam, dan masa dimana saya terhanyut akan keindahan alam liar. Memang, ini hanya di Citatah, yang masih sangat dekat dengan kota, namun sudah cukup menghibur kerinduan ini.

Bermain Poker
Materi pengenalan self rescue merupakan inti dari kegiatan kami kali ini. Self rescue merupakan materi untuk divisi peminatan Rock Climbing yang diikuti oleh Amin sebagai peserta, Babi sebagai instruktur, Arnan sebagai korban, dan saya sebenarnya cuma ingin jalan-jalan namun terjebak harus ikut membantu instruktur untuk materi. Ketika berjalan mendekati lokasi tebing panjat, saya melihat sudah sangat banyak pemanjat yang  memasang jalur. Ada yang dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) hingga Universitas Tarumanegara (UnTar), Jakarta. 

Instruktur - Rescuer - Korban 
Sebuah jalur artifisial sedang dibuat oleh seorang pemanjat wanita disebelah lokasi tempat kami memasang instalasi materi self rescue. Jalur ini sebenarnya adalah jalur yang umum digunakan dan merupakan jalur yang cukup mudah untuk pemula. Pemanjat ini menjadi menarik perhatian kami sebab selain karena jalur yang memang berseberangan langsung dengan lokasi kami, beberapa kali terdengar teriakan panduan dari rekan-rekannya di bawah dan juga dari puncak jalur pemanjatan. 

“Sling nya habis, tinggal satu” teriak si pemanjat wanita yang saat itu posisinya berada sekitar satu meter diatas sling runner terahir dan sekitar dua meter dibawah puncak jalur. Sebagai seorang pemanjat tebing, apa yang anda lakukan apabila pengaman anda habis beberapa meter di bawah puncak jalur? Sebagai seseorang yang sudah cukup lama (ehem..) menjadi penggiat di alam terbuka saya cuma akan memberikan tiga kata: "safety procedure first". Pikirkanlah apa yang menjadi safety procedure yang sudah kalian pelajari, itu yang harus dilakukan.

Suasana tebing 125
Tiba-tiba terlihat seseorang dari puncak jalur yang merupakan teman pemanjat menurunkan sebuah webbing kearah pemanjat. Webbing tersebut diraih oleh kedua tangan pemanjat wanita tersebut. Pemandangan yang cukup aneh, itu yang saya rasakan. Saya kemudian memutuskan untuk turun dari lokasi instalasi materi dan memastikan jalur tali aman dari bawah. Saat sedang berbincang dengan teman setim pemanjat, terdengar kepanikan dan seketika saat saya melihat kearah pemanjat, kepalanya sudah berada dibawah, satu meter dibawah sling runner terakhir. Pemanjat tersebut terjatuh, kepalanya membentur batu, namun dia masih sadar. Terlihat dia masih dapat menggerakkan leher dan matanya masih terbuka. Dia terjatuh sekitar 3 meter dari lokasi terakhir. Pemandangan ini terlihat sangat ironi. Masih teringat saat pemanjat ini meminta turun karena dia sudah kelelahan dan kehabisan sling pengaman namun tidak diindahkan oleh teman-temannya yang kerap menyemangatinya untuk menggapai puncak yang sebentar lagi dapat dia raih.

Pemanjat wanita itu berhasil di-rescue dengan selamat dan untungnya keadannya tidaklah parah. Disini saya tidak akan membahas bagaimana mereka me-rescue atau perbedaan apa yang cukup crucial dari teknik back-up belay ataupun teknik memanjat mereka. Saya hanya ingin berbagi kisah bahwa  kecelakaan saat bermain di alam adalah hal yang pasti dapat terjadi dan harus dapat  diantisipasi dengan sigap dan benar. Namun menghindari kecelakaan adalah hal yang lebih penting. Ini yang kadang diabaikan oleh para penggiat olahraga alam terbuka. Mereka mementingkan skill, gaya dan fun namun safety procedure kerap terabaikan. 

Beruntung saya besar dan belajar mengenal alam bersama Astacala, yang sangat mengedepankan safety procedure. Sebuah kegiatan tidak boleh dijalankan apabila safety procedure belum komplit. Persiapan yang matang dan cenderung lama karena harus memastikan semuanya aman itu lebih baik daripada bergerak cepat namun kemudian harus di-rescue. Yah kami masih menganut nasehat orang tua jaman dulu, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, perisapan boleh lama agar kemudian senang sampai akhir.

Manusia Baru

Apakah pagi esok akan menyapa kita yang terbangun di atas tempat tidur sebagai manusia yang baru atau kita tetap memilih untuk menjadi manusia lama yang menyapa hari yang baru?

Seperti biasa, dihari Minggu pagi tadi saya menyempatkan waktu untuk ke Gereja. Namun tidak seperti biasanya, pagi tadi saya mendengar firman Tuhan dengan seksama. Hari ini Tuhan berbicara kepadaku melalui Surat Rasul Paulus kepada umat di Efesus 4: 17,20-24. Disana dijelaskan bahwa setiap manusia tentunya terhubung dengan kehidupannya yang dahulu, dimana dia mungkin mengenal Allah namun hidup seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah. Orang-orang itu harus menaggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya karena nafsunya yang menyesatkan supaya ia dibaharui dalam roh dan pikiran dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Pernahkah anda seperti ini: Sudah tau salah, sudah tau dosa, tapi tetap dilakukan, namun kemudian bertobat, lalu berbuat dosa lagi kemudian bertobat lagi, begitu seterusnya. Dengan demikian kita hanya akan menjadi manusia lama sepanjang hidup ini. Pikirkanlah bahwa tidak akan ada lagi hari esok yang cukup untuk membuat anda bertobat. Pikirkanlah bahwa anda hanya akan hidup hanya untuk hari ini saja, dan apabila esok hari anda masih bisa membuka mata, itu adalah bonus yang harus anda gunakan untuk menjadi manusia baru di hari yang baru. Tanggalkan manusia lama dan jadilah manusia baru.


Minggu, 18 Desember 2011

Pungli? Bukan…sumbangan kok

Pungutan liar atau yang beken dengan sebutan pungli sudah sangat umum kita jumpai di negara kita ini, Indonesia tercinta. Mulai dari pungli yang berasal dari aparat dan pejabat negara hingga para preman yang meminta “jatah” kepada para pedagang/orang yang mencari rejeki di “wilayah” mereka. Namun kali ini saya akan menyorot suatu aktivitas yang seakan seperti pungli, namun memiliki nama “sumbangan” sebab bukan suatu paksaan atau kewajiban.

“Maaf mbak, apakah mau memberikan sumbangan Rp 1000, per kupon ke P*I?”, sahut lembut seorang kasir bioskop saat saya ingin membayar tiket nonton theater saat itu. Ketika saya mengambil dompet dan tangan kasir sudah hampir merobek kupon tanda pembayaran sumbangan, seketika teman saya melarang saya untuk membayarnya. Dengan ketus dia mengatakan bahwa lembaga tersebut sudah memiliki anggaran dana yang sangat besar dari pemerintah dan tidak setuju bila masih saja meminta sumbangan seperti itu. Ternyata di seluruh bioskop dengan label yang sama menerapkan hal yang serupa, meminta sumbangan saat tiket akan dibayar. Sedikit setuju dengan argumen teman saya dan terlepas dari kenyataan pelit atau memang “kere” saya selalu menolak untuk menyumbang dan terkadang sedikit bercanda dengan mengatakan, “Saya sudah sering donor d*r*h kok mbak.” Mbak-nya lantas tersenyum sinis (eh manis deh), mungkin dia mengira saya berbohong, namun saya memang rutin melakukannya, setiap 3 bulan sekali bila tidak lupa dan memenuhi syarat tentu saja.

Demikian kejadian tersebut terus berlansung namun buat saya itu sama sekali tidak mengganggu dan dapat  diterima. Hingga pada suatu ketika belum lama ini, sayapun mulai terganggu. Saat ingin membayar tiket, mbak kasir yang selalu ramah itu mengatakan, “Dua tiket, Rp 42 ribu mbak..(@Rp 20 ribu)”, sambil menyiapkan 2 tiket theater dengan potongan kupon sumbangan P*I yang sudah disobek 2 lembar. Dengan lugu dan polos saya bertanya apakah sumbangan ini sudah menjadi kewajiban bila ingin nonton theater? Ternyata tidak, sehingga saya (lagi-lagi) menolak membayar sumbangan tersebut. Kejadian ini sontak membuat saya sedikit dongkol karena tindakan (baca: taktik baru) meminta subangan tersebut seperti memaksa dan memanfaatkan kebiasaan refleks otak manusia.

Untuk berargumen sepertini ini, sama sekali tidak diperlukan penjelasan ilmiah yang rumit namun cukup dengan mencoba mengingat-ngingat kebiasaan otak kita sehari hari. Saat kita disodori pertanyaan, otak kita akan memproses pertanyaan itu terlebih dahulu. Sehingga pada saat kasir bertanya, “Apakah anda mau menyumbang Rp 1000?” otak akan memproses pertanyaan "mau atau tidak?" dan seketika berbagai kemungkinan dan perhitungan muncul dalam otak kita sehingga dalam waktu sepersekian detik kita bisa memilih untuk menjawab “Tidak” kepada kasir yang ramah itu. Berbeda halnya bila kita disodori sebuah kalimat hasil seperti, “Semuanya Rp 42 ribu mbak”. Yang diproses dari otak kita adalah Rp 42 ribu sehingga, dalam waktu sepersekian detik juga, otak akan memproses perintah agar tangan kita segera mengeluarkan uang dan membayar nominal tersebut.

Untuk orang-orang kritis, pas-pasan bawa duit, perhitungan dan pelit, hal ini mungkin menjadi obstacle (penghalang) sehingga akan di-counter dengan bertanya balik seperti yang saya lakukan. Namun, sebagian besar orang tidak mempermasalahkan hal tersebut karena dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan faktor eksternal. Bisa saja karena malu sama pacar, tidak mau dianggap pelit/perhitungan oleh teman-teman, tidak mau repot berpikir, ingin cepat, atau karena baru sadar saat sudah menyerahkan uang.

Dari sepenggal kejadian ini mungkin kita akan berfikir bahwa, bila kita membeli satu tiket akan ditawarkan (baca: diminta) menyumbang satu kupon. Bila anda berfikir seperti ini, ternyata tidak demikian. Jumlah kupon yang diminta untuk dibayar sangat bergantung pada kasir ramah yang melayani anda. Sebab pada suatu ketika, saat ingin membayar 27 tiket, mbak kasir yang ramah hanya menambahkan 5 kupon sumbangan dalam nominal pembayaran akhir. Kali ini saya mengalah dan membayar sumbangan tersebut.

Hingga kini saya belum pernah melihat laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban penggunaan uang sumbangan dari masyarakat ini. Paling tidak disetiap titik penyebaran kupon sumbangan dipajang laporan sementara jumlah dana terkumpul dan penggunaannya itu sudah “lari” kemana? Semua bentuk sumbangan diarahkan untuk membantu yang berkekurangan pasti di-amin-kan dan didukung penuh oleh masyarakat. Namun tentu saja diperlukan laporan penggunaan dana yang transparan oleh lembaga yang bersangkutan. Masyarakan tidak perlu bertanya-tanya lagi dananya sudah dipakai kemana, dan dapat menghilangkan pikiran negatif bila dana di-serong-kan ke kantong yang tidak seharusnya.

Hati nurani, pintu pertanggungjawaban terakhir

Transparansi itu perlu untuk sesuatu yang sangat sensitive seperti uang. Jangankan Rp 1000,- , uang Rp 100,- saja bila ada 100 juta orang yang menyumbangkan uang kembalian mereka sesudah berbelanja bisa terkumpul Rp 1 miliyar. Salah satu lembaga kemanusiaan internasional juga mengumpulkan sumbangan di tempat umum bekerja sama dengan kasir. Sepengetahuan saya, program ini sudah cukup lama mereka jalankan sebelum lembaga P*I mengikuti ide tersebut walaupun dengan cara yang lebih primitif (memakai kupon). Lembaga ini berusaha bertindak professional, bijak dan cukup transparan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan kasir-kasir pusat perbelanjaan yang bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan ini. Sebelum memberi tahu nominal pembayaran akhir kepada pelanggan, mereka akan selalu bertanya terlebih dahulu, apakah uang receh kembalian mereka ingin disumbangkan. Mereka baru akan memproses sumbangan yang nominalnya akan tertera pada struk belanja bila pelanggan menyetujui. Bila ternyata kembalian pelanggan tidak ada yang receh, mereka tidak akan meminta sumbangan. Jumlah pengumpulan dana sementara dipajang disetiap titik kasir yang bersangkutan sehingga setiap konsumen yang memberikan kembalian mereka mengetahui bahwa sedikit receh yang tidak begitu berarti bagi mereka bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Memang, hal ini tidak serta merta membuktikan bahwa dana tersebut benar-benar disalurkan seutuhnya kepada mereka yang disebutkan. Sebagian orang berargumen bahwa sebagian besar dana sumbangan tersebut digunakan untuk membayar gaji para pegawai lembaga kemanusiaan tersebut lengkap dengan fasilitas yang super mewah. Mengerutkan dahi, itu yang spontan saya lakukan. “Tega benar mereka”, pikirku. Namun saya cukup pada titik tindakan profesional mereka yang sudah mau berbagi informasi penggunaan dana tersebut. Satu nilai tambah untuk mereka, masalah kemana dan apakah tepat sasaran dana yang disalurkan itu akan menjadi pertanggungjawaban dengan hati nurani mereka sendiri sebagai pintu terakhir.